Wednesday 13 November 2013

MEMINTA PERLINDUNGAN DAN MEMBERI SESAJI PADA JIN

Ibu Katsir menyampaikan dalam kitab tafsirnya bahwa pada mulanya Jin itu takut pada manusia, sebagaimana manusia sekarang ini takut pada jin. Apabila rombongan manusia berhenti disatu tempat maka para jin yang menghuni tempat itu berlarian ketakutan membubarkan diri. Mereka hanya berani mengamati dari jauh apa yang akan dilakukan oleh rombongan manusia itu.



Mereka tercengang ketika pemimpin  rombongan itu berseru:” Wahai penguasa lembah ini kami mohon perlindungan padamu dari berbagai bahaya dan kejahatan yang ada dilembah ini”. Mereka saling berbisik :” Lihatlah rupanya manusiapun takut pada kita sebagaimana kita takut pada mereka”. Akhirnya jin itupun mendekati manusia dan mulai berani mendatangkan berbagai gangguan pada mereka.
Diantara Jin itu ada yang berhasil masuk ketubuh salah seorang dari rombongan itu , kemudian dia mulai membual bahwa dialah penguasa daerah itu, ia akan melindungi rombongan tersebut  asalkan mau memberi tumbal atau korban berupa sesajen. Rombongan manusia itu percaya pada jin yang masuk ketubuh orang tersebut  dan mulai menuruti semua permintaan jin tersebut, mulai dari menyembelih ayam cemani, menamam kepala kerbau, menyuguhkan bunga tujuh rupa dan lain sebagainya. Inilah asal muasal munculnya berbagai ritual musyrik diseluruh pelosok bumi ini.
Di indonesia ritual musyrik seperti ini masih banyak kita dapati dalam rangka  minta keselamatan dan perlindungan dari jin penguasa suatu daerah. Ketika mau membangun rumah , jembatan atau bangunan lainnya diadakan upacara menaman kepala kerbau. Di Minang kabau ketika masih kecil  dulu saya melihat orang yang menyembelih ayam ketika akan membangun rumah kemudian darah ayam tersebut ditebar disekeliling rumah yang akan dibangun. Nelayan ditepi pantai juga sering memberikan sesaji ke laut agar tangkapannya banyak.
Jalan tertentu yang sering meminta korban kecelakaan juga tidak luput dari kegiatan musyrik ini. Berdasarkan informasi dari dukun, paranormal atau  beberapa orang yang kesurupan jin dilakukanlah ritual memberikan sesajen ditempat yang dianggap angker tersebut. Orang yang meminta tolong pada penguasa makam atau tempat keramat juga sering melakukan berbagai ritual musyrik. Perbuatan musyrik mempersekutukan Allah dengan sesuatu merupakan perbuatan yang amat dibenci dan dimurkai Allah sebagaimana disebutkan dalam surat An Nisa’ 116
 116. Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan dia mengampuni dosa yang selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya.  (An Nisa’ 116)

Allah mengancam para pelaku musyrik dengan neraka jahanam sebagaimana disebutkan dalam surat al bayyinah ayat 6
6. Sesungguhnya orang-orang yang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang yang musyrik  (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk. (Al Bayyinah 6)
Walaupun Allah membenci dan  mengancam para pelaku musyrik ini dengan neraka jahanam , perbuatan ini tetap saja marak dilakukan orang . Di Indonesia masih banyak daerah dan adat istiadat masyarakat yang  melakukan kegiatan atau ritual musyrik ini. Mereka memberikan persembahan berupa kurban hewan, sesaji , makanan , buah buahan bagi penguasa ghaib didaerah itu.
Beberapa kegiatan dan tradisi musyrik yang dilakukan masyarakat di Pulau jawa antara lain yang ditulis ustadz Abulfaruq Ayip Syafrudin di majalah Asyariah edisi 67 sebagai berikut :
Di desa Pendem kecamatan Sumberlawang, Sragen terdapat sebuah bukit yang disebut Gunung Kemukus. Malam jum’at Pon merupakan malam keramaian . . Manusia berdatangan ke Gunung Kemukus dalam rangka menjalani laku tirakat ngalap berkah di makam yang ada di tempat itu. Makam di perbukitan yang berada di tengah Waduk Kedungombo ini, konon merupakan makam Pangeran Samodra dan Nyai Ontrowulan. Ritual ngalap berkah di Gunung Kemukus diawali dengan prosesi penyucian di Sendang Ontrowulan. Setelah itu, dengan dipandu juru kunci, para peziarah dibimbing guna melakukan ritual sajen. Yaitu, menyerahkan uborampe (perlengkapan sajen) dalam bentuk sebungkus kembang telon, dupa ratus atau kemenyan, dan uang wajib. Dengan uborampe inilah juru kunci akan memohon kepada yang mbaurekso di Gunung Kemukus. (Sajen dan Ritual Orang Jawa, Wahyana Giri MC, hlm. 94—96)

 

Perilaku mistik lainnya juga dilakukan oleh sebagian masyarakat Yogyakarta, mereka melakukan acara labuhan yaitu sesaji ritual dengan tujuan untuk melestarikan hubungan yang telah lama terjalin antara pihak tertentu dengan kanjeng Ratu Kidul penguasa laut selatan. Sesaji untuk penguasa laut selatan diadakan di Parangkusumo. Sesaji diletakkan pada satu tempat yang disebut petilasan, yaitu tempat terjadinya pertemuan antara Panembahan Senopati dan Kanjeng Ratu Kidul yang memiliki patih bernama Nyai Rara Kidul. Antara Panembahan Senopati dan Kanjeng Ratu Kidul terjalin perjanjian di mana Kanjeng Ratu Kidul berjanji melindungi Panembahan Senopati beserta seluruh keturunannya.
Pelaksanaan doa dilakukan di tempat tersebut dan sesaji pun ditaruh di tempat itu. Juru kunci Parangkusumo mengucapkan, “Perkenankanlah saya, Kanjeng Ratu Kidul untuk menyampaikan sesaji Labuhan kepada Paduka, … untuk keselamatan hidup, kehormatan kerajaan, dan keselamatan rakyat serta negeri Ngayogyakarta Hadiningrat.” Setelah mengucapkan mantra, sesaji itu pun dibawa ke laut. Beberapa sesaji diempaskan ombak kembali ke pantai dan diperebutkan oleh masyarakat. Mereka berkeyakinan bahwa sesaji tersebut memiliki daya untuk memberikan keselamatan, kesehatan, dan kehidupan yang lebih baik bagi mereka yang mendapatkannya.
Upacara Labuhan lainnya juga dilakukan di Gunung Merapi, dan Gunung Lawu (Karanganyar, Jawa Tengah).  Ritual Labuhan lainnya dilaksanakan setiap tanggal 30 Rejeb (penanggalan Jawa). Upacara ritual ini banyak dikunjungi oleh orang guna ngalap berkah. Sesaji ditujukan kepada Eyang Kanjeng Pangeran Sapujagad, Pangeran Anom Suryangalam, Eyang Kyai Udononggo, Nyai Udononggo, dan Kyai Jurutaman. Tempat tinggal mereka ada di beberapa tempat di Merapi, seperti di Turgo, Plawangan, dan Wukir Rinenggo di dekat Selo. Upacara doa dilakukan di Kinahrejo, dipimpin oleh abdi dalem kraton, Mas Ngabehi Suraksohargo alias Mbah Maridjan. Sesaji diletakkan di satu tempat bernama Kendit, letaknya di lereng selatan Gunung Merapi. Uborampe (perlengkapan sesaji) terdiri dari kain, setagen, minyak wangi, kemenyan, dan lain-lain.
Ritual Labuhan lainnya dilakukan di Desa Nano, letaknya di lereng Gunung Lawu. Sesaji dikirim ke desa tersebut lalu dibawa oleh delapan orang penduduk asli daerah tersebut. Dipilihnya delapan orang dari penduduk asli daerah itu karena mereka memiliki hubungan spiritual dengan yang mbaurekso (penguasa) Gunung Lawu. (Upacara Tradisional Jawa Menggali Untaian Kearifan Lokal, Dr. Purwadi M. Hum, hlm. 75—78) Upacara ritual semacam yang dipaparkan di atas terjadi di mana-mana. Sebut saja upacara ritual Yudnya Kasada yang dilakukan masyarakat Tengger di kawasan Gunung Bromo, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. Upacara ini dilakukan pada setiap purnama bulan Kasada. Upacara dilakukan menjelang fajar. Saat itulah, masyarakat Tengger (terkhusus yang menganut agama Hindu) mengangkut ongkek (wadah) berisi sesajen yang akan dilarung ke kawah Bromo. Uborampe sesajen ini berisi pisang, labu, cabai, jagung, dan hasil pertanian lainnya.

Di Pelabuhan Lorens Say, Maumere, masyarakat Nasrani di Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, mengadakan upacara Parehoba, yaitu menyuguhkan sesajen berupa telur, arak, dan beras kepada penguasa laut dan roh leluhur. Mereka meminta keselamatan kepada penguasa laut dan roh leluhurnya.
Upacara sejenis terjadi di Kabupaten Subang, Jawa Barat, tepatnya di Muara Belanakan. Masyarakat nelayan di daerah ini melakukan ruwatan atau sedekah laut. Bentuknya dengan menyuguhkan sajen berupa kepala kerbau dan darahnya, serta makanan lainnya. Di Flores Tengah, kalangan Suku Lio juga mengadakan ritual semacam ini. Sesajen atau kuwiroe (menurut istilah masyarakat Suku Lio) adalah sebentuk ritual yang ditujukan kepada para dewa, roh, atau arwah nenek moyang. Tujuannya tentu saja dengan sebuah keyakinan bahwa dengan kuwiroe tersebut diharapkan arwah-arwah leluhur bisa memberi perlindungan hidup kepada mereka.
Itu hanya sebagian ritual musyrik yang dilakukan sebagaian masyarakat Indonesia, didaerah lain masih banyak hal serupa yang dilakukan masyarakat. Kadang kala mereka masih mencampurkan yang hak dan yang bathil, walaupun mereka sudah memeluk agama islam diantara mereka masih ada yang ikut ikutan melakukan ritual tersebut, karena menganggap itu merupakan  adat nenek moyang mereka yang perlu dilestarikan.
Pada dasarnya semua kegiatan ritual  yang dilakukan untuk yang mbaurekso atau penguasa ghaib pada suatu tempat termasuk perbuatan musyrik mempersekutukan Allah.  Disadari atau tidak mereka telah menyembah Jin, sebagaimana telah disebutkan Allah  dalam surat Saba ayat 40-41:
40. Dan (ingatlah) hari (yang di waktu itu) Allah mengumpulkan mereka semuanya kemudian Allah berfirman kepada malaikat: “Apakah mereka ini dahulu menyembah kamu?.” 41. Malaikat-malaikat itu menjawab: “Maha Suci Engkau. Engkaulah pelindung kami, bukan mereka; bahkan mereka telah menyembah jin; kebanyakan mereka beriman kepada jin itu (Saba 40-41)
Pada tempat tertentu yang dianggap angker seperti jembatan, pintu air, makam keramat, petilasan , danau, waduk ,  masyarakat setempat juga sering melakukan ritual memberikan sesaji mohon keselamatan pada penguasa tempat itu. Biasanya ritual itu dilakukan atas permintaan jin yang berhasil masuk kedalam tubuh seseorang. Ketika terjadi kecelakaan yang meminta korban jiwa maka Jin penghuni tempat itu masuk kedalam tubuh orang yang lemah dan ia mulai membual, bahwa ialah yang menyebabkan semua itu.  Agar kejadian serupa tidak terjadi lagi ia minta agar diberikan sesaji berupa kepala kerbau, buah buahan atau sesajen lainnya. Masyarakat yang merasa takut kemudian memenuhi permintaan jin itu, maka terjadilah kegiatan ritual rutin seperti itu pada saat yang telah ditentukan oleh jin penguasa tempat itu. Jin merasa senang karena mereka berhasil mempedaya manusia yang katanya derajatnya lebih tinggi dari mereka.
Salah satu kegiatan ritual yang disebut sedekah bumi dilakukan oleh masyarakat setempat dengan menanam kepala kerbau di pintu air KO delapan  didesa Tirtamulya Karawang, dengan harapan yang mbaurekso akan mendatangkan kemakmuran bagi sawah mereka yang diairi dari pintu air tersebut. Team Dua Dunia dari Trans 7 yang dipimpin ustadz Hakim Bawazir berusaha mengungkap kegiatan ritual itu dengan mengajak berdialogh Jin yang menguasai tempat itu.
Jin penghuni pintu air itu merasa senang bahwa mereka telah berhasil mempedaya masyarakat disitu untuk melakukan semua kegiatan  ritual tersebut. Semua itu adalah perbuatan musyrik yang dilarang agama. Untuk jelasnya silahkan ikuti video dialog dengan jin pada video berikut dibawah ini.
Banyak masyarakat awam yang kurang pengetahuan agamanya melakukan ritual musyrik ini, mereka merasa itu adalah adat leluhur atau nenek moyang yang harus dilestarikan. Padahal semua itu merupakan kegiatan musyrik yang dilarang Allah. Tanpa disadari mereka sudah menjadi budak dari golongan Jin sebagimana disebutkan  dalam surat Saba’ ayat 41 diatas.

No comments:

Post a Comment

Harap jelaskan identitas dan bicara dengan niat baik dan berdasar. Please verify your id and speak on good ground.