Tuesday 3 July 2012

Presiden Amerika Yang Penuh Kegagalan

 
Sebelum membahas bagaimana belajar menghadapi kegagalan dari sudut psikologi, kita ulas dulu sejarah singkat Abraham Lincoln terutama daftar kegagalan beliau yang ternyata tidak menyurutkannya dalam perjuangan hidupnya. Abraham Lincoln (lahir di Hardin County, Kentucky, 12 Februari 1809 - meninggal di Washington, D.C., 15 April 1865 pada umur 56 tahun) adalah Presiden Amerika Serikat yang ke-16, menjabat sejak 4 Maret 1861 hingga terjadi pembunuhannya. Dia memimpin bangsanya keluar dari Perang Saudara Amerika, mempertahankan persatuan bangsa, dan menghapuskan perbudakan.

Namun, saat perang telah mendekati akhir, dia menjadi presiden AS pertama yang dibunuh. Sebelum pelantikannya pada tahun 1860 sebagai presiden pertama dari Partai Republik, Lincoln berprofesi sebagai pengacara, anggota legislatif Illinois, anggota DPR Amerika Serikat, dan dua kali gagal dalam pemilihan anggota senat.

Sebagai penentang perbudakan, Lincolnmemenangkan pencalonan presiden Amerika Serikat dari Partai Republik pada tahun 1860 dan kemudian terpilih sebagai presiden. Masa pemerintahannya diwarnai dengan kekalahan dari pihak Negara Konfederasi Amerika Serikat, yang pro perbudakan, dalam Perang Saudara Amerika. Dia mengeluarkan dekrit yang memerintahkan penghapusan perbudakan melalui Proclamation of Emancipation pada tahun 1863, dan menambahkan Pasal ketiga belas ke dalam UUD AS pada tahun 1865.

Lincoln mengawasi perang secara ketat, termasuk pemilihan panglima perang seperti Ulysses S. Grant. Para ahli sejarah menyimpulkan bahwaLincoln mengorganisir faksi-faksi dalam Partai Republik dengan baik, membawa tiap pemimpin faksi ke dalam kabinetnya dan memaksa mereka bekerja sama. Lincoln berhasil meredakan ketegangan dengan Inggris menyusul Skandal Trent pada tahun 1861. Di bawah kepemimpinannya pihak Utara berhasil menduduki wilayah Selatan dari awal peperangan. Lincolnkemudian terpilih kembali sebagai presiden AS pada tahun 1864.

Para penentang perang mengkritisi Lincoln karena sikapnya yang menolak berkompromi terhadap perbudakan. Sebaliknya, kaum konservatif dari golongan Republikan Radikal, faksi pro penghapusan perbudakan Partai Republik, mengkritisi Lincoln karena sikapnya yang lambat dalam penghapusan perbudakan. Walaupun terhambat oleh berbagai rintangan, Lincoln berhasil menyatukan opini publik melalui retorika dan pidatonya, pidato terbaiknya adalah Pidato Gettysburg.

Mendekati akhir peperangan, Lincoln bersikap moderat terhadap rekonstruksi, yaitu mendambakan persatuan kembali bangsa melalui kebijakan rekonsiliasi yang lunak. Penggantinya, Andrew johnson, juga mendambakan persatuan kembali orang kulit putih, tapi gagal mempertahankan hak para budak yang baru dibebaskan. Lincoln dinilai sebagai presiden AS yang paling hebat sepanjang sejarah Amerika.

Berikut tabel daftar kegagalan dari orang yang semasa hidupnya mengalami banyak tantangan dan badai namun menjadi orang hebat.


NoTahunKejadian
1.1831Abraham Lincoln mengalami kebangkrutan dalam usahanya.
2.1832Abraham Lincoln menderita kekalahan dalam pemilihan tingkat lokal.
3.1833Abraham Lincoln kembali menderita kebangkrutan.
4.1835Sang istri Abraham Lincoln meninggal dunia.
5.1836Abraham Lincoln menderita tekanan mental sedemikian rupa, sehingga hampir saja masuk rumah sakit jiwa.
6.1837Abraham Lincoln menderita kekalahan dalam suatu kontes pidato.
7.1840Abraham Lincoln gagal dalam pemilihan anggota senat Amerika Serikat.
8.1842Abraham Lincoln menderita kekalahan untuk duduk di dalam kongres Amerika Serikat.
9.1848Abraham Lincoln kalah lagi di konggres Amerika Serikat.
10.1855Abraham Lincoln gagal lagi di senat Amerika Serikat.
11.1856Abraham Lincoln kalah dalam pemilihan untuk menduduki kursi wakil presiden Amerika Serikat.
12.1858Abraham Lincoln kalah lagi di senat Amerika Serikat.
13.1860Abraham Lincoln akhirnya menjadi presiden Amerika Serikat.

Kalau orang lain yang mengalami demikian banyak kegagalan seperti yang dialami Abraham Lincoln mungkin sudah mundur teratur. Namun Lincoln tetap maju terus, kata mundur sama sekali tidak ada dalam kamusnya. Itulah sebabnya akhirnya dia mencapai suatu sukses yang luar biasa.

Dari semua kejadian diatas ujar-ujar atau kata mutiara dari Abraham Lincoln yang pantas untuk kita gunakan adalah:

    Sukses berjalan dari satu kegagalan ke kegagalan yang lain, tanpa kita kehilangan semangat. (Abraham Lincoln)

Motivasi

Kegagalan bukan hal luar biasa, bukan memalukan, tidak patut ditertawakan, kecuali mungkin hanya Kegagalan Miyabi saja yang lucu didunia ini. Apakah Anda takut gagal? Begitu takutnya sampai Anda tidak berusaha untuk mencoba? Cobalah pikirkan kembali, hal itu benar-benar tak masuk akal. Dengan tidak mencoba barang sekalipun, sebenarnya Anda sudah gagal. Jadi rasa takut gagal adalah penyebab kegagalan yang pasti.

Apakah Anda takut? Coba perhatikan rasa takut Anda. Perhatikan pesan yang berusaha disampaikannya. Rasa takut membuat Anda lebih waspada. Rasa takut memberi energi ekstra. Rasa takut membuat Anda mampu mengatasi tantangan tersulit. Tidak ada yang mampu mendorong sumber daya dalam diri Anda, lebih dari rasa takut.

Rasa takut sebenarnya ada untuk mendorong Anda maju, bukan untuk menahan Anda. Biarkan rasa takut mengajarkan Anda. Biarkan rasa takut mempersiapkan Anda. Tetapi jangan membuat rasa takut menghentikan Anda. Saat rasa takut menahan Anda, coba perhatikan baik-baik apa yang menyebabkan rasa takut, dan Anda akan menemukan alasan untuk bergerak maju.

    Kegagalan paling abadi adalah kegagalan untuk mulai bertindak. Bila Anda sudah mencoba, dan ternyata gagal, Anda memperoleh sesuatu yang bisa dipelajari dan mungkin dicoba kembali. Anda tidak akan pernah gagal bila Anda terus berusaha.

sumber : http://jogora.blogspot.com/2010/09/presiden-amerika-yang-penuh-kegagalan.html

Inilah Keajaiban Matematika

Perhatikan baik-baik:

1 x 8 + 1 = 9

12 x 8 + 2 = 98

123 x 8 + 3 = 987

1234 x 8 + 4 = 9876

12345 x 8 + 5 = 98765

123456 x 8 + 6 = 987654

1234567 x 8 + 7 = 9876543

12345678 x 8 + 8 = 98765432

123456789 x 8 + 9 = 987654321

1 x 9 + 2 = 11

12 x 9 + 3 = 111

123 x 9 + 4 = 1111

1234 x 9 + 5 = 11111

12345 x 9 + 6 = 111111

123456 x 9 + 7 = 1111111

1234567 x 9 + 8 = 11111111

12345678 x 9 + 9 = 111111111

123456789 x 9 + 10 = 1111111111

9 x 9 + 7 = 88

98 x 9 + 6 = 888

987 x 9 + 5 = 8888

9876 x 9 + 4 = 88888

98765 x 9 + 3 = 888888

987654x 9 + 2 = 8888888

9876543 x 9 + 1 = 88888888

98765432 x 9 + 0 = 888888888

Hebatkan?

Coba lihat kesimetrian ini :

1 x 1 = 1

11 x 11 = 121

111 x 111 = 12321

1111 x 1111 = 1234321

11111 x 11111 = 123454321

111111 x 111111 = 12345654321

1111111 x 1111111 = 1234567654321

11111111 x 11111111 = 123456787654321

111111111 x 111111111 = 123456789876543 21

kurang hebat????

Sekarang lihat ini

Jika 101% dilihat dari sudut pandangan Matematika, apakah ia sama dengan 100%, atau ia LEBIH dari 100%?

Kita selalu mendengar orang berkata dia bisa memberi lebih dari 100%, atau kita selalu dalam situasi dimana seseorang ingin kita memberi 100% sepenuhnya.

Bagaimana bila ingin mencapai 101%?

Apakah nilai 100% dalam hidup?

Mungkin sedikit formula matematika dibawah ini dapat membantu memberi

jawabannya:

Jika ABCDEFGHIJKLMNO PQRSTUVWXYZ

Disamakan sebagai 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26

Maka, kata KERJA KERAS bernilai :

11 + 5 + 18 + 10 + 1 + 11 + 5 + 18 + 19 + 1 = 99%

H-A-R-D-W-O-R-K

8 + 1 + 18 + 4 + 23 + !5 + 18 + 11 = 99%

K-N-O-W-L-E-D-G -E

11 + 14 + 15 + 23 + 12 + 5 + 4 + 7 + 5 = 96%

A-T-T-I-T-U-D-E

1 + 20 + 20 + 9 + 20 + 21 + 4 + 5 = 100%

Sikap diri atau ATTITUDE adalah perkara utama untuk mencapai 100% dalam hidup kita. Jika kita kerja keras sekalipun tapi tidak ada ATTITUDE yang positif didalam diri, kita masih belum mencapai 100%.

Tapi, LOVE OF GOD

12 + 15 + 22 + 5 + 15 + 6 + 7 + 15 + 4 = 101%

atau, SAYANG ALLAH

19 + 1 + 25 + 1 + 14 + 7 + 1 + 12 + 12 + 1 + 8 = 101%

Bagaimana??


sumber : http://www.mindtalk.com/ch/YouKnow#!/post/4f8d134af7b73039b90009a4

10 Potret Kesederhanaan Presiden Mahmoud Ahmadinejad

 

Iran baru saja memutuskan untuk menghentikan ekspor mintak ke Prancis, di tengah-tengah krisi minyak. Sebuah langkah berani untuk negeri kaya minyak ini, yang jelas mengundang pro dan kontra. Langkah berani Iran untuk menghentikan ekspor minyak ke sekutu amerika serikat itu menuai kritikan dan pujian dari berbagai pihak, terlebih konon Prancis rela kehausan minyak demi ambisi israel.

Lepas dari semua itu, siapa tokoh dibalik langkah berani Iran dalam menghentikan ekspor minyak Iran ke Perancis? Dialah Mahmoud Ahmadinejad, sang Presiden Iran. Sosok Ahmadinejad adalah sosok presiden yang sangat berbeda dengan presiden-presiden pada umumnya dan mungkin hanya satu-satunya di dunia. Ahmadinejad adalah presiden yang sederhana, amanah dan tidak mementingkan diri sendiri.
Hal pertama yang dilakukannya ketika diangkat menjadi presiden adalah mengumumkan kekayaan dan propertinya yaitu sebuah sedan Peugeot 504 tahun 1977 dan rumah sederhana warisan ayahnya di sebuah daerah kumuh di Teheran. Bandingkan dengan presiden-presiden di Indonesia yang belum pernah ada yang melakukan hal yang sama. Bahkan anggota dewan yang terhormat, DPR kita pun tidak layak diperbandingkan dengan Ahmadninejad.
Ahmadinejad tidak sungkan untuk membawa bekal makanannya yang dibawa dari rumah dan disiapkan oleh sang istri tercinta. Bekal sarapan itu berisikan roti isi atau roti keju dan dimasukan ke dalam tas dan dimakannya dengan gembira.
Jika presiden kita mengusulkan pesawat kepresidenan yang super mewah dan canggih, Ahmadinejad malah merubah kebijakan pesawat terbang kepresidenan yang mewah menjadi pesawat kargo dengan pesawat terbang biasa dengan kelas ekonomi, dengan alasan agar tidak memberatkan rakyat Iran membayar pajak untuk dirinya. Sungguh tindakan yang perlu ditiru oleh semua orang.
Tahun 2007 Ahmadinejad memenuhi undangan dari Columbia University, kampus almamaternya Barrack Obama, untuk berbicara dalam forum Columbia University’s World Leaders Forum. Kedatangan Ahmadinejad mendapat tentangan dan kontroversial, namun pihak kampus tetap mengizinkan Ahmadinejad untuk berbicara. Mau tahu apa saja isi pidato Ahmadinejad? 
Dalam forum bergensi ini Ahmadinejad menyampaikan beberapa hal, yang menurut kami cukup berani sebagai seorang kepala negara yang membela bangsanya. Dalam pidatonya Ahmadinejad mengkritik kebijakan Israel terhadap Palestina; membela negaranya mengenai program tenaga nuklir, mengkritik kebijakan sanksi PBB terhadap negaranya; menyerukan penelitian tentang keakuratan sejarah holocaust; menjawab pertanyaan mengenai siapa yang memulai serangan 9/11; menegaskan isu pengobatan wanita dan homoseksual dengan berkata “Di Iran, kami tidak memiliki homoseksual seperti di negara Anda. Di Iran, kami tidak memiliki fenomena ini. Saya tidak tahu siapa yang bilang ini “.  Sungguh sikap yang sangat berani bahkan pernyataan ini keluar dinegara dimana negara tersebut adalah seteru dari negara Iran.
Masih banyak lagi sisi lain dari Ahmadinejad yang patut dicontoh oleh para pemimpin dunia. Yang menjadi pertanyaan, mengapa ia berlaku seperti itu? Mengapa Ahmadinejad berperilaku seperti rakyat jelata atau orang miskin? Padahal ia hidup di negara kaya, sebagai negara penghasil minyak bumi terbesar keempat di dunia. Dan kebijakan-kebijakan pertahanan Iran kerap membuat gerah negara-negara kapitalis barat, negara adikuasa, adidaya dengan sekutunya. Ahmadinejad pun menjadi presiden yang berpengaruh dalam percaturan dunia dan menjadikan Iran menjadi sebuah negara yang diperhitungkan secara strategis, politik, ekonomis, keamanan dan pertahanan di kawasan Timur Tengah, Semenanjung Arab, Eurasia bahkan dunia.
Jawabannya adalah Mahmoud Ahmadinejad menempatkan dirinya sebagai “pelayan” dan pengabdiannya sebagai presiden adalah sebuah tanggung jawab yang berat, yaitu melayani bangsa Iran, seperti yang disampaikannya kepada TV Fox (AS). Semangat ini yang ia tularkan kepada bawahannya atau mentri-mentrinya agar tetap hidup sederhana dan bahwa rekening pribadi mereka akan selalu diawasi oleh seluruh rakyat Iran. Agar jika suatu hari nanti mereka tidak berkuasa atau berakhir masa jabatannya mereka dapat meninggalkan jabatan dan kekuasaannya dengan kepala tegak dan tidak sebagai pecundang.
Berikut ini adalah 10 potret bentuk kesederhanaan presiden Iran, Mahmoud Ahmadinejad:
  1. Dalam acara pernikahan putranya, yang lebih mirip pernikahan para buruh, ketimbang pernikahan putra presiden.
  2. Jumpa pers yang sangat sederhana, namun tetap terlihat impresif
  3. Potret kesederhanaan Presiden Ahmadinejad adalah dengan apa yang dikenakannya
  4. Acara sarapan pagi Sang Presiden yang selalu dibawanya di dalam tas yang telah disiapkan oleh istri tercinta.
  5. Rumah dan mobil properti Presiden Mahmoud Ahmadinejad yang sangat sederhana, jauh dari kesan mewah
  6. Jangan kaget, inilah mobil sang presiden: cuma Peugeot 504 tahun 1977
  7. Dimanapun terdengar panggilan shalat, disitu pula Sang Presiden mendirikan shalat meski hanya ditepi jalan dan beralaskan kain!
  8. Lebih suka tidur beralaskan karpet dan selimut, walau sedang berada di hotel mewah, foto ini diambil dari koran Wifaq yang juga dipublikasikan di Amerika
  9. Meski seorang presiden, tetapi tidak harus berada di shaf terdepan.
  10. Teguh memegang prinsip, tidak bersalaman dengan wanita yang bukan muhrim.
    Kuat prinsipnya dalam menjalankan syariat Islam

Dampak Fatal Sering Masturbasi Atau Onani

Banyak pria melakukan masturbasi, bahkan ada yang hingga kecanduan sampai-sampai jadi gelisah jika sehari saja tidak melakukannya. Hati-hati jangan berlebihan, sebab masturbasi juga punya efek samping jika terlalu sering dilakukan.

Tidak ada batasan yang pasti tentang seberapa sering pria boleh masturbasi. Meski dipengaruhi banyak faktor termasuk usia, ada beberapa pendapat yang menyebut frekuensi ideal untuk ejakulasi adalah 2-3 kali seminggu baik melalui masturbasi maupun hubungan seks yang sesungguhnya.

Dikutip dari AskMen, masturbasi yang terlalu sering bisa memicu aktivitas berlebih pada saraf parasimpatik. Dampaknya adalah produksi hormon-hormon dan senyawa kimia seks meningkat teramasuk asetilkolin, dopamin dan serotonin.

Ketidakseimbangan kimiawi yang terjadi akibat hobi masturbasi yang terlalu sering bisa memicu berbagai macam gangguan kesehatan antara lain sebagai berikut:

1. Impotensi

    Gangguan pada saraf parasimpatik bisa mempengaruhi kemampuan otak dalam merespons rangsang seksual. Akibatnya kemampuan ereksi melemah, bahkan dalam tingkat keparahan tertentu bisa menyebabkan impotensi yakni gangguan seksual yang menyebabkan penis tidak bisa berdiri sama sekali.

 2. Kebocoran katup air mani

    Bukan hanya ereksi saja yang terpengaruh oleh kerusakan saraf, kemampuan saluran air mani untuk membuka dan menutup pada waktu yag tepat juga terganggu. Akibatnya sperma dan air mani tidak hanya keluar saat ereksi, lendir-lendir tersebut bisa juga keluar sewaktu-waktu seperti ingus sekalipun penis sedang dalam kondisi lemas.

 3. Kebotakan

    Dampak lain dari ketidakseimbangan hormon yang terjadi jika terlalu sering masturbasi adalah kerontokan rambut. Jika tidak diatasi, lama-kelamaan akan memicu kebotakan atau penipisan rambut pada pria.

 4. Nyeri punggung dan selangkangan

    Kontraksi otot saat mengalami orgasme bisa memicu nyeri otot, terutama di daerah punggung dan selangkangan. Bagi yang melakukannya dengan tangan kosong tanpa pelumas, rasa nyeri juga bisa menyerang penis karena gesekan yang terjadi bisa menyebabkan lecet-lecet.

 5. Rasa letih sepanjang hari

    Setiap kali tubuhnya mengejang karena orgasme, pria akan kehilangan cukup banyak energi karena hampir semua otot akan mengalami kontraksi. Akibatnya jika terlalu sering, pria akan kehilangan gairah untuk beraktivitas dan cenderung akan merasa ngantuk sepanjang hari.

Sementara menurut pakar seks Dr Andri Wanananda MS, masturbasi relatif normal bila dilakukan tidak sampai mengggangu kegiatan produktif sehari-hari.

Diakuinya memang ada dampak masturbasi yang keseringan yakni terjadi ejakulasi dini saat sanggama dengan pasangannya.

"Hal ini disebabkan oleh kebiasaan tergesa-gesa saat masturbasi karena ingin cepat merasakan kenikmatan orgasme seorang diri (self-satisfaction). Lalu ketika ia menikah, sifat tersebut masih terpatri pada dirinya hingga mengabaikan eksistensi isterinya. Itulah yang menyebabkan banyak kasus ejakulasi dini," tutur Dr Andri dalam konsultasi kesehatan.


sumber : http://www.mindtalk.com/ch/Healthly#!/post/4f53c034f7b7305a53006288

Sunday 11 March 2012

Modern Names Calling

Extremist, fundamentalist, racist, fanatics, etc.

  Decades, even centuries ago, colonialist all over the world have started assigning those names to the freedom fighters of the countries the colonized. Third world countries in Africa, Asia, Latin America. While those people were in reality the very people who strived and suffered as the result of striving, for liberty of their own people, from the ones who called them with those names and do nothing sincerely, but to suck dry, extort labour (either under paid or not paid at all) from the indigenuous people and the natural resources of those very country they colonized.
  So, why should today's muslims and freedom fighters bother about the names the descendants of those colonialist extortionists put for them? What's the difference with the past? Those western colonialist extortionist come to, again, the third world countries, including the ones with muslim majorities, force and coerce, hashly or subtly, the locals' will to be allowed to extort natural resources (many times without regard to the surrounding natives and the impact on the surrounding natural environment), and put forward commerce run by themselves, forcing in their culture, their way of living, and so on. If the people don't give in to them, they won't hesitate to call them with those names above, and even to use force to make those people succumb to their will, just like what they did in China during the last dinasty, the C'hin dinasty. Then they make up good names to themselves, such as the liberator etc. In liberating, they of course need oil to run their machineries, help from the locals in the form of labour (better be cheap), etc.
  Or, they make, either by opening themselves, or by secretly adopting, to the local youths, so these latter will join education institutions in their countries. Upon returning to their "primitive" homelands, these youths don't always bring new good things, including new knowledge, to improve their motherland, but many times simply foreign high education degrees that enable them to beat their own sisters and brothers in competing for jobs and new attitudes, the one that makes them consciously or not support the westerners who gave them the education and need them as the extension of their arms in running those local countries. And start calling their own people who don't go along with them with those very bad names/callings.
  Those who create those bad names, bad calling...even with all their moneys and their so called advanced technologies (sometimes purposefully made to be extremely non-environmental friendly)...they hardly manage their countries really well. They still have corruption, rapes, extreme poverty...yet they have the time to come to other people's countries simply to force and coerce the indigenuoes people to go by their wish. Travelling many distances, using force enough to annihilate big portion of earth and its population. And start to create and call bad names to ones who resist their will.


  Who is, according to the facts, your clear consciousness and logic, the extremist ones?

Thursday 1 March 2012

Uke: Receiving


By Dave Lowry
Editor's Note: This article is an excerpt from "Sword And Brush," a book detailing martial arts strategic principles the author considers to be important to a broad range of Japanese martial arts. In this book he explains various characters and their meaning in the context of the martial arts. This excerpt addresses the meaning of the kanji character "Uke."

When the conversation leads to the subject of toughness, as inevitably it will among young men and women in transit on the Way, opinions will flow liberally. This master, it will be recounted, knocked an opponent senseless with the briefest riposte. That one, someone will say, uprooted young trees with his bare hands. Still another will be said to crush stalks of green bamboo with his bare hands. Comparative feats of strength are presented as proof of toughness in these conversations, especially those among younger bugeisha (a student of old style martial arts). The more senior exponents, however, tend to have a different way of measuring toughness. With experience comes too, the knowledge that toughness is less a matter of dishing it out and is really more the ability to receive.

"With experience comes too, the knowledge that toughness is less a matter of dishing it out and is really more the ability to receive."
Uke is a pictographic kanji (Japanese character), one written to depict two hands, one reaching down, the other stretching up, and between them is placed the character for "boat." This "conveyance of goods from one person to another" became, over the centuries, the kanji to indicate the act of "receiving." The bugeisha uses the word frequently. In grappling bugei, the method of falling safely are collectively called "ukemi," the "receiving body." In judo terminology, the exponent thrown is "uke," the "receiver." Of the pair in karate practice, the one under attack is the "ukete," the "receiving hand." In kendo, the defender is "ukedachi," the "receiving sword."
In these and other expressions in the bugei lexicon, the importance of the term "uke" is significant. It is commonly mistranslated in judo circles as the "taker" of a technique. Uke is thrown and so is considered the "loser" in this way of thinking.

"To be on the uke end of training is not to be passively accepting of the technique. It is instead the attitude of receiving, meeting the throw on one's own terms."
To understand that "uke" means more exactly "to receive" opens new views for the practitioner. To be on the uke end of training is not to be passively accepting of the technique. It is instead the attitude of receiving, meeting the throw on one's own terms. The mentality of the uke is not one of resignation or worse yet, of stubborn resistance. The uke flows, absorbs the force of the throw, and while he does fall, his ukemi does not necessarily signal defeat. His fall is one he controls. He receives -- and bounces up again.

The term "ukete" in karate and "ukedachi" in kendo are subject to a similarly misleading translation. Here they are thought of incorrectly as designating the participant who "blocks" an attack. Not so. The "ukekata," or "receiving forms" of kendo and karate require a receiving of the incoming force in order to redirect it away or to use it to come back against the attacker.

In the mature training hall will be very senior bugeisha, older men and women, and they can be seen happily taking falls or blows, over and over, from children trainees. Against adolescent members, young and full of themselves, the senior will be just as complacent, mildly taking all the excess energy of youth without a bruise or wince, until, among the brightest of the youngsters, will come the realization that there is something more to all this activity than it seems. They will, some of them, begin to suspect that the toughness of these older bugeisha is a thing yet to be discovered out there along the way. They will have begun to see the true toughness of receiving.

Japanese Traditions on Entering the Dojo: What Price are You Willing to Pay?

From: http://www.fightingarts.com/reading/article.php?id=402


By Dave Lowery
What does it mean to join a dojo (training hall) today in the traditional sense, and what was it like to enter the dojo of a ryu (system) during the feudal era? The similarities and differences of these ways are an accurate reflection of the similarities and differences between the classical bujutsu (military arts) and their successors, the budo (military way) of our century.

It takes more than a flash of the cash and sporadic attendance to succeed in traditional dojo. The students above are considered worthy and dedicated by their instructor.
To no traditionalists, there might not be anything special about joining a dojo. From their point of view you just walk in and make your wishes known to whoever is in charge. Flash your MasterCard, sign a liability waiver and you're a member of the club. However, this is a long way from the manner in which things are done in a strictly traditional dojo and it's light years away from the way the feudal warrior entered a dojo in old Japan.

Understand first that the idea of the dojo or ryu as a business began very recently. The ryu was anciently seen as a combination of an extended family, an intense and lengthy apprenticeship program, and often as a semi-religious order.

There were exceptions, but the average ryu was relatively small. Whether it was supported by a feudal lord or maintained privately, money was rarely a consideration for the top instructors of the style. A select group of faithful students or a benefactor were all that was necessary. When the head instructor was retained by his lord, a stipend supported him, the same way all the lord's other samurai were kept. Otherwise, the headmaster depended on gifts and offerings from his disciples. Either way, few instructors relied upon their teaching for their livelihood.

The martial skills of classsical Japanese Ryu are still practiced in Japan as well as abroad. Students share the unique experience of practicing together an art inherited from Samurai times. Here the author uses a chain and sickle (Isshin-ryu Kugarigama Jutsu) against a sword held by Diane Skoss. This art is practiced as an affiliated school (Fuzoko Ryuha) to Shindo Muso Ryu Jodo, a classical school of jo (short stick). In Shindo Muso Ryu, the jo is used to defend against the Japanese sword. (Photo courtesy of Christopher Caile)
Early ryu had little use for large numbers of students, expensive fees for training, or for professional instructors. How, then, did the prospective disciple enter the ryu's dojo? Mainly by persistence. Initially, the applicant had to approach the dojo with letters of introduction and recommendation from someone known and respected by the masters of the ryu. This was generally followed by a check into the applicant's background.

Records were plentiful in old Japan and background checks weren't very difficult. During the long Tokugawa regime, a thorough and far-reaching network of intelligence agents was maintained by the government, and laws made sure no one traveled outside his native province without identification papers.
Records were plentiful in old Japan and background checks weren't very difficult. During the long Tokugawa regime, a thorough and far-reaching network of intelligence agents was maintained by the government, and laws made sure no one traveled outside his native province without identification papers.
Furthermore, for those of the warrior class, last name and home fief established a lot about character and personal history. One reason for this check was to insure that the applicant was of good character, but another equally important consideration was to protect against the possibility of a rival ryu member from slipping into an "enemy" school to steal their secret techniques.

Once his background was ascertained, the applicant took the keppan (blood oath), which was a written loyalty oath, signed or sealed with the applicant's blood. The average classical warrioroften had a small scar on one of his fingers, or inside his arm, from his encounter with the keppan. Practically unnoticeable, it reminded him of the great honor it was to be a part of his ryu.

Even after he became an official member of the ryu, the aspiring warrior's application was still not complete. He was eligible only for a trial period, usually referred to as te hodoki (unleashing of hands). It was a probation that could be severe, one where the beginner was ordered to perform all sorts of domestic chores-chopping wood, preparing meals, washing uniforms; the kind of scenario that's popular in martial arts movies to establish the tenacity of the film's future hero. It was a test to see how much he'd tolerate. It ascertained how badly he wanted to learn. If the beginner performed his assigned tasks with patience and dignity he was soon accepted into the beginning ranks of the ryu. He became a monjin (a person at the gate) of the ryu's teachings.

Rigorous training such as running stairs, closely resembles the karate training of early ryu.
Ancient students felt like they belonged, a feeling that carries over into present-day Japan, where the individual is judged (and often judges himself) according to the groups to which he belongs

The members of the ryu very much have the feeling of nakama (within the interior space) with others of their school or style. They have shared similar training, totally unique to those outside it.

They have a common understanding of the ryu. It's much like a family.
It's obvious, then, that joining a ryu meant more than just attending lessons and learning skills. Even today, when a Japanese craftsman wishes to convey the scope of his training, he sometimes uses the expression, "I shared the mat with So-and-So Sensei." To share the mat or sit on the mat with a high-ranked sensei has a particular significance. It means the secrets and skills of his art have been passed directly down to the speaker. He is the inheritor of the master's particular way of doing the craft.
A lot of the budo customs have changed over the years? but they haven't really been lost. True, there are no longer any keppan (blood) oaths, and only a few schools practice anything like the period of probation. But serious budoka respect the same bonds of belonging that their ancestors did. Today's budoka feels (or should feel) that he's part of a very special group, that he springs from a distinct and honorable lineage.

Students of a tradtional karate organaization, such as JKA, for example, train in front of a portrait of Gichin Funakoshi, and they should derive deep satisfaction knowing their teacher, or their teacher's teacher, actually practiced karate under this great man.

Students of another karate style who visit a JKA dojo are lucky. And students from the JKA who train in another system are equally fortunate. But should they claim they are actually a part of the dojo they visit? If they are willing to put on a white belt, forget their allegiance to their original sensei and accept their adoptive style wholeheartedly, the answer is yes. Otherwise, the visiting student who attempts to present himself as a real member diminishes both himself and his teachers.

The entrance the modern-day budoka makes to his ryu or dojo may be simpler than it was in the old days, but it has just as much meaning and commitment. And if it is taken lightly or abused, if the student fails to understand the implications of his passage to the door of the dojo, he can never expect to proceed successfully beyond it.

Five Short Principles

In practicing martial way or our lives, remember these:

  1. Pay attention.
  2. You have responsibilities.
  3. Respect others.
  4. Listen.
  5. Beware the dark side

Tuesday 28 February 2012

Want vs Wanting


  According to the Merriam Webster dictionary, want has the meaning of: as verb: 1 : to fail to possess : LACK  2 : to feel or suffer the need of 3 : NEED, REQUIRE 4 : to desire earnestly : WISH; as noun : 1 : a lack of a required or usul amount : SHORTAGE 2 : dire need : DESTITUTION 3 : something wanted :DESIRE 4 : personal defect : FAULT

  Ever saw the movie Gods Must Be crazy, part I and II? 

  Even if you haven't, let's ponder a little. So what's the real meaning of want? Is it wanting this, wanting that...or simply wishing to fulfil something that is due and yet lacking, something substantial? Like the need for food, housing, clothing...the need to improve oneself to be a better person...

  So, we indeed blessed by God's grace called desire. It's what separate us from animals and plants. But what is really deserved to be desired for? Just because we haven't owned a Ferrari or Lamborghini, 

or haven't collected 200 plus new g.i.joe figures, haven't bought the latest genuine European perfumes, 

will that makes us a stupid, deficient person? Will it even render us death? Or will it deliver us straight to hell, just because we haven't earned, haven't purchased them? Not to mention haven't shown them to others as collection...

  Mind you and mind myself, there are so many people in this world alone that still haven't been able to figure out not just what will they have for dinner or lunch, but even when will they ever eat or eat decently, ever again.


 

Monday 27 February 2012

Kisah Anak-Anak Yang Serakah

Pada zaman dahulu, ada seorang petani yang suka bekerja keras dan murah hati, yang memiliki beberapa anak laki-laki yang malas dan serakah.

Menjelang ajalnya, petani itu mengatakan kepada anak-anaknya bahwa mereka akan menemukan harta karun kalau mereka mau menggali di suatu ladang tertentu.

Segera setelah orang tua itu meninggal, anak-anaknya bergegas ke ladang tersebut, menggalinya dari satu sisi ke sisi lain, dengan keputusasaan dan konsentrasi yang semakin meningkat. Namun, tak kunjung mereka temukan emas di tempat yang ayahnya sebut itu.

Mereka sama sekali tidak menemukan emas. Menyadari bahwa karena kemurahan hatinya, ayah mereka pasti telah membagi-bagkan emasnya semasa hidupnya, mereka pun berhenti mencari.

Akhirnya, terpikir oleh mereka bahwa karena ladang itu sudah terlanjur digarap, tak ada salahnya bila ditanami benih. Mereka pun menanam gandum, yang menghasilkan panen berlimpah-limpah. Mereka menjualnya, dan pada tahun itu juga hidup mereka makmur.

Setelah musim panen lewat, mereka berpikir-pikir kembali tentang kemungkinan bahwa harta karun itu terluput dari penggalian mereka. Mereka pun menggali lagi ladang mereka, tetapi hasilnya sama saja.

Setelah bertahun-tahun lamanya, mereka menjadi terbiasa bekerja keras dan mengenali musim, sesuatu yang belum pernah mereka pahami sebelumnya. Sekarang, mereka mengerti cara sang ayah melatih mereka, dan mereka pun menjadi petani yang jujur dan bahagia. Pada akhirnya, mereka memiliki cukup kekayaan sehingga tak lagi risau perihal harta terpendam itu.



Demikianlah ajaran tentang pemahaman terhadap nasib manusia dan takdir kehidupan. Guru yang menghadapi ketidaksabaran, kebingungan, dan keserakahan murid-murid, harus mengarahkan mereka kepada suatu kegiatan yang diketahuinya bisa bermanfaat dan konstruktif bagi mereka, tetapi yang kegunaan dan tujuannya seringkali tersembunyi dari mereka, karena sifat kekanak-kanakan mereka sendiri.

Saturday 25 February 2012

Mengapa Jual-Beli Saham itu Haram

 In sumbernya, terima kasih kepada penyedianya: http://media-islam.or.id/2007/11/26/mengapa-jual-beli-saham-itu-haram/


Sesungguhnya Pasar Modal itu halal jika bertujuan untuk mempertemukan antara pengusaha yang memerlukan modal dengan investor yang kelebihan uang, sehingga sektor real bisa bangkit. Dengan cara ini, maka produksi, baik barang maupun jasa bisa meningkat untukk memenuhi kebutuhan masyarakat, serta membuka lapangan kerja bagi banyak orang. Hal seperti itu halal, dengan catatan tidak ada gharar (penipuan) atau riba yang mengurangi hak dan merugikan investor.
Setelah itu, perusahaan berjalan dengan suntikan modal investor. Sesungguhnya kerjasama seperti ini (Mudlorobah atau Musyarokah) yang kalau di zaman modern mungkin disebut dengan join venture sudah dikenal dan dihalalkan dalam Islam selama tidak ada tipu-menipu.
Dalam hadis Qudsi, Allah mengatakan:
“Saya adalah ketiga dari dua orang yang bersyarikat itu, selama salah satu pihak tidak mengkhianati kawannya; jika salah satu mengkhianati kawannya, maka saya akan keluar dari antara mereka berdua itu.” (Riwayat Abu Daud dan Hakim dan ia sahkannya)
Ibnu Razin dalam kitab Jami’nya menambahkan: (dan akan datang syaitan).
“Dan tolong-menolonglah kamu atas kebaikan dan tagwa.” (al-Maidah: 3)
Sebagian ummat Islam menganggap bahwa jual-beli saham di Bursa Saham (Stock Market) adalah halal, sementara sebagian lainnya menganggap haram karena termasuk spekulasi atau judi.
Manakah yang benar? Sebagai ummat Islam, jika ada perbedaan seperti itu, hendaklah kita kembali berpegang pada Al Qur’an dan Hadits
“Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” [An Nisaa:59]
Kita memang tidak bisa mengklaim sebagai yang paling benar, tapi sesungguhnya Al Qur’an itu tidak ada keraguan bagi orang yang takwa serta mentaati Nabi itu adalah perintah dari Al Qur’an. Al Qur’an dikenal juga sebagai Al Furqon, yang membedakan mana yang haq dengan yang bathil. Untuk itu, kita harus berpedoman pada Al Qur’an dan Hadits, bukan cuma berdasarkan pendapat kita sendiri.
Ada yang berpendapat bahwa jual-beli saham halal dengan alasan sama dengan jual-beli barang lainnya seperti buah atau beras. Hal ini kurang tepat.
Saham itu baik barang maupun nilainya tidak jelas, sehingga membeli atau menjualnya adalah tindakan yang spekulatif. Jangankan saham, buah saja meskipun halal, tapi jika kondisinya belum jelas dilarang diperjual-belikan:
Menurut jabir; “Rasulullah s.a.w. melarang penjualan buah-buahan sebelum ia masak.” (Hadis riwayat Bukhari).
Anas juga menyatakan, “Rasulullah s.a.w. melarang Munabazah yaitu menjual pakaian dengan melemparkan kepada pelanggan sebelum dia mempunyai masa untuk meneliti atau melihatnya; Beliau juga melarang Mulamasah, menjual pakaian dengan hanyamenyentuhnya sebelum pembeli sempat melihatnya; Beliau juga melarang Muhaqilah yang berupa amalan menjual jagung yang masih melekat pada empulurnya untuk ditukarkan dengan jagung bersih; malah beliau melarang Mukhadarah yang berupa jualan benda-benda yang hijauatau belum masak; dan Beliau juga melarang Muzabanah yang berupa penjualan kurma yang segar (sudah diproses) dan penjualan buah-buahan yang belum masak yang masih di atas pokok.” (Hadisriwayat Bukhari)
“Dari Jabir bin Abdullah ra katanya: Rasulullah SAW melarang kontrak jual beli hasil buah kebun untuk beberapa tahun lamanya” (HR Muslim).
Kenapa Nabi melarang hal itu? Karena itu itu tindakan spekulatif, walau pun buah itu halal. Jika buah-buahannya masak, pembeli untung, tapi jika tidak masak atau busuk, maka pembeli rugi. Begitu pula dengan saham.
Nabi melarang jual-beli tanpa si penjual memberi kesempatan bagi si pembeli untuk meneliti barang yang dibelinya, misalnya hanya memegang tanpa melihat, atau langsung dilempar begitu saja. Boleh dikata, hampir semua pembeli di bursa saham membeli saham tanpa pernah pergi ke perusahaannya dan melihat assetnya apakah benar sesuai dengan laporan keuangan atau tidak.
Ada yang berpendapat jual-beli saham halal karena dalam hal muamalah sesuatu itu halal kecuali ada dalil yang melarangnya. Dalam hadits Nabi, kita mengetahui bahwa berserikat membentuk perusahaan antara pengusaha dan investor itu sudah ada di zaman Nabi dan dibolehkan. Pada zaman Nabi, tidak ada investor yang memperjual-belikan sahamnya, oleh karena itu tidak ada “larangan” untuk jual-beli saham. Tapi adakah itu berarti jual-beli saham halal?
Sesungguhnya kita tidak akan menemui larangan memakai narkoba atau bermain poker di Al Qur’an dan Hadits, tapi itu tidak berarti bahwa memakai narkoba atau bermain poker itu halal.
“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfa`at bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfa`atnya”. Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: “Yang lebih dari keperluan.” Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir,” [Al Baqoroh:219]
Narkoba digolongkan ulama sebagai khamar karena membuat mabuk dan pikiran tidak berfungsi sementara poker digolongkan sebagai judi, karena pada saat ada yang menang, ada pula yang kalah atau menderita. Dari ayat Al Qur’an di atas juga jelas bahwa ada pertimbangan antara manfaat dengan mudlorot atau kerusakan yang bisa ditimbulkan. Jika lebih banyak mudlorotnya ketimbang manfaat, jangankan jual-beli saham, ibadah Haji yang termasuk wajib pun jika keadaan sangat berbahaya dan bisa menimbulkan kematian (misalnya perang besar di daerah itu), bisa gugur hukumnya.
Kenapa jual-beli barang biasa misalnya kebutuhan pokok seperti beras, ikan, atau pakaian halal meski spekulasi bisa terjadi (walau sedikit dan ini juga dilarang dalam Islam) halal, sementara jual-beli saham haram? Karena manfaat yang pertama lebih besar ketimbang bahayanya. Tanpa jual-beli seperti beras, kehidupan tidak akan berjalan. Rakyat tidak bisa makan kecuali dia menanam atau membuat sendiri. Tapi tanpa jual-beli saham, orang tetap bisa hidup tanpa ada gangguan sedikitpun. Bahkan hal itu lebih bermanfaat, karena dia bisa mengerjakan sesuatu yang real.
Charlie Sheen yang berperan sebagai Bud Fox, pialang saham muda yang mengagumi Gordon Gekko (master pemain saham yang licik), dinasehati ayahnya (Martin Sheen) di dalam film Wall Street agar berusaha/bekerja dengan tangannya untuk menghasilkan produk yang nyata, ketimbang bermain saham yang tak menghasilkan apa-apa kecuali uang dari orang lain.
Dalam satu hadits, Nabi juga berkata bahwa sesungguhnya Allah mencintai orang yang bekerja dengan tangannya sendiri. Bukan orang yang cuma duduk-duduk saja membeli saham sambil berharap suatu saat dapat capital gain.
“Tiada makanan yang lebih baik daripada hasil usaha tangannya sendiri.” (HR. Bukhari)
“Tidaklah seorang di antara kamu makan suatu makanan lebih baik daripada memakan hasil keringatnya sendiri” (HR Baihaqi)
Bahkan Rasulullah pernah mencium tangan Sa’ad bin Mu’adz ra tatkala beliau melihat bekas kerja pada tangan Mu’adz. Seraya beliau bersabda: “(Ini adalah) dua tangan yang dicintai Allah Ta’ala”
Jual-beli saham pada pasar sekunder, jika trend grafiknya naik, mungkin semua orang akan senang. Tapi jika grafiknya lurus horisontal, maka jika fluktuatif, akan ada yang menang dan ada yang rugi. Persis seperti judi. Jika ada yang menang, maka ada yang harus menderita. Tidak mungkin semua mendapat kemenangan. Misalnya untuk untung, kita harus beli di harga rendah dan menjualnya di harga tinggi, misalnya kita beli harga saham di harga Rp 1000 dan menjualnya di harga Rp 2000. Agar bisa terjadi seperi itu, tentu ada yang harus membeli di harga tinggi (Rp 2000) dan menjualnya di harga rendah (Rp 1000). Kita mungkin menang, tapi yang lainnya rugi.
Pada kondisi trend grafik menurun, lebih parah lagi. Ada yang rugi sedikit, ada pula yang rugi besar hingga harus menjual rumah atau kehilangan milyaran rupiah. Contoh terakhir adalah kasus bunuh dirinya seorang pemain saham yang kalah, sehingga uang nasabahnya sebesar Rp 500 milyar lenyap begitu saja. Saya juga mengamati, dari transaksi jual-beli saham antara tahun 2002-2003, ada sekuritas yang transaksinya merugi hingga Rp 150 milyar, ada pula yang menang hingga Rp 300 milyar. Kemenangan satu pemain saham umumnya berasal dari kerugian pemain lainnya.
“Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).” [Al Maa-idah:91]
Islam mensyaratkan adanya saling kerelaan (senang) di antara pembeli dan penjual:
“Hai orang-orang yang beriman! Jangan kamu makan harta kamu di antara kamu dengan cara yang batil, kecuali dengan jalan perdagangan dengan adanya saling kerelaan dari antara kamu.” (an-Nisa’: 29)
Kerelaan di atas maksudnya baik pembeli dan penjual tidak kecewa atau dirugikan. Pada transaksi riba, mungkin antara debitur dan kreditur menanda-tangani peminjaman dengan sukarela, tapi pada dasarnya itu haram, karena debitur dirugikan. Demikian pula dengan jual-beli saham terutama ketika grafik rata atau menurun.
Dengan jual-beli saham, berapa banyak pemain saham yang dianggap master dan dikagumi juniornya akhir menderita kekalahan dan bahkan ada yang akhirnya bunuh diri. Seorang pemain saham, bahkan bisa melotot memonitor pergerakan harga saham sepanjang hari agar tidak kehilangan kesempatan menarik keuntungan jika seandainya harga saham turun atau naik. Pernah ada kejadian seorang nasabah yang ingin memukul broker-nya dengan palu karena rugi. Saya ragu jika itu sesuai dengan syariah…
Ada yang berpendapat, jika berusaha di sektor real juga kita bisa rugi. Itu benar, tapi kenyataan menunjukkan bahwa hal itu adalah halal, dan kenyataannya, lebih dari 70% para pengusaha itu berhasil. Jika seandainya rugi, maka prosesnya tidak secepat pada saham. Seorang pengusaha dengan modal 1 milyar, paling-paling dia bangkrut setelah 1-2 tahun beroperasi.Tapi dalam bermain saham, sama halnya dengan judi, uang sebesar itu bisa lenyap dalam semalam atau sebulan saja. Misalnya dia membeli saham A di harga 1 milyar, kemudian sebulan dia jual Rp 500 juta. Kemudian dia beli saham B, sebulan kemudian karena harganya turun terpaksa dia jual Rp 100 juta. Kerugian terjadi begitu cepat, apalagi jika saham yang dibeli nilainya jadi 0. Jika pada sektor real seorang pengusaha yang jatuh akhirnya bisa belajar dan akhirnya sukses, pada saham proses begitu cepat dan bisa menimbulkan kecanduan seperti judi.
“…supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” [Al Hasyr:7]
Jual-beli saham itu haram karena melanggar perintah Allah pada surat Al Hasyr ayat 7. Pada Mudlorobah dan Musyarokah, pengusaha yang memerlukan modal bisa mendapat uang dari investor untuk menjalankan usahanya. Jika jual-beli saham diadakan, maka modal yang diperlukan untuk usaha itu akhirnya beredar antara investor satu dengan investor yang lain, sehingga sektor real justru tidak bisa berkembang karena kekurangan dana.
Contohnya, di Bursa saham transaksi jual-beli saham mencapai antara Rp 200 milyar hingga Rp 1 trilyun PER HARI. Uang tersebut tidak bermanfaat apa-apa karena hanya beredar di antara orang-orang kaya (pemilik uang) saja. Padahal jika uang itu diinvestasikan untuk membuka perusahaan baru, paling tidak 200 perusahaan bisa berdiri. Misalkan kita mengimpor kedelai sebesar Rp 3 trilyun per tahun dari AS, bisa jadi dengan uang di atas, kita bisa menggerakan sektor pertanian, sehingga ratusan ribu petani bisa bekerja dan memberi nafkah bagi jutaan anggota keluarganya, rakyat bisa terpenuhi kebutuhan pangannya, dan negara bisa menghemat devisa sebesar Rp 3 trilyun per tahunnya.
Tapi jika kita menganggap jual-beli saham itu halal meski bertentangan dengan ayat Al Hasyr ayat 7, maka uang sebesar Rp 200 milyar hingga Rp 1 trilyun itu tidak berarti apa-apa kecuali beredar di antara sesama spekulator saham. Ekonomi bisa mandek…
Jual-beli saham juga bertentangan dengan konsep Syarikat Islam. Dalam konsep Syarikat Islam, orang-orang yang bekerjasama membentuk perusahaan, baik pengusaha atau pun investor saling mengenal dan terikat kontrak yang jelas. Konsepnya mungkin hampir mirip pada perusahaan join venture modern.
“Dari Saib Al Makhzumi ra: Dia adalah syarikat (partner bisnis) Rasulullah SAW ketika belum menjadi Rasul. Setelah peristiwa Fathu Mekkah, Nabi berkata: “Selamat datang saudaraku dan syarikatku” (HR Imam Ahmad, Abu Daud, dan Ibnu Majah)
Begitulah konsep persekutuan bisnis dalam Islam. Sesama partner saling mengenal. Kalau dalam jual-beli saham, para partner bisnis mayoritas majhul atau tidak dikenal. Saking liquid-nya, pemegang saham satu perusahaan bisa berubah-rubah baik jumlah mau pun orangnya. Seorang Liem Sioe Liong atau James Riady (pemilik perusahaan yang asli), boleh dikata tidak mengenal para investor yang membeli saham-nya lewat Bursa Saham di pasar sekunder. Mana yang lebih baik, sistem Islam atau sistem Kapitalis?
Ada yang berpendapat bahwa semua itu tergantung niat. Jika niatnya membeli saham untuk investasi, maka jual-beli saham di pasar sekunder halal. Jika spekulasi, maka haram. Semudah itukah?
Jika niatnya memang investasi, tentu dia akan menyerahkan modalnya langsung kepada pengusaha yang memerlukan modal baik langsung atau di pasar perdana (IPO). Tapi jika menyerahkan uangnya kepada pemilik saham yang menjual sahamnya (spekulan) di pasar sekunder, itu sama saja dengan spekulasi. Ini mengakibatkan uang hanya beredar di antara sesama pemilik uang seperti yang disebut di atas.
Niat seperti itu jika tidak dilakukan dengan cara yang benar, sama saja dengan bersedekah pada orang berduit yang kemudian memakainya untuk berjudi atau bermaksiat. Jika dia sudah mengetahui hal itu tapi tetap melaksanakannya, sungguh dia telah tolong-menolong dalam kemaksiatan seperti yang disebut dalam Al Qur’an.
Ada juga pengamat yang berkata bahwa jual-beli saham untuk orang awam yang tidak punya data itu haram, karena resikonya besar. Tapi bagi yang ahli serta punya data, itu halal. Ini sama dengan mengatakan bahwa orang yang tidak mabuk, halal meminum khamar, atau seorang penjudi yang jago halal untuk berjudi. Islam tidak diskriminatif seperti itu…
Dari Abu Hurairah ra bahwa Nabi SAW bersabda: “Akan datang suatu masa di mana orang tak peduli akan apa yang diambilnya, apakah dari yang halal atau dari yang haram” (HR Bukhari)
Mungkin ada yang berpendapat bahwa jual-beli saham itu perlu agar investor yang cuma punya saham bisa mendapatkan uang dengan menjualnya jika ada keperluan yang mendesak.
Sesungguhnya dari ayat dan hadits di atas jelas bahwa jual-beli saham banyak mudlorotnya dan dilarang oleh agama. Jika investor itu memang butuh uang, maka dia bisa menarik modalnya dari syarikatnya jika uangnya memang ada. Tapi jika uangnya tidak ada, maka dia bisa berhutang, sebab berhutang itu selama tidak ada ribanya dihalalkan oleh agama. Ada baiknya Pasar Modal Syariah bekerjasama dengan Bank Syariah untuk meminjamkan uang bagi investor yang kepepet. Dan ada baiknya para investor untuk tidak menginvestasikan seluruh uang yang dimilikinya, serta menabung sebagian uangnya di Bank Syariah, sehingga tidak sampai melakukan jual-beli saham.
Jual-beli saham terjadi selain karena emitennya performance-nya kurang baik, mungkin juga disebabkan adanya kecurangan dari emiten sehingga para investor tidak bisa mendapatkan keuntungan yang layak, kecuali dari capital gain lewat jual-beli saham di pasar sekunder. Bayangkan, ada satu perusahaan besar dengan banyak produk yang dipakai luas di masyarakat, tapi hanya memberikan deviden sebesar 2,3% saja per tahun dari nilai pasar yang ada jika kita membelinya. Itu berarti jika kita membeli saham itu, maka pokok modal kita akan kembali setelah lebih dari 40 tahun! Padahal Direksinya bergaji puluhan juta rupiah per bulan, demikian pula pemilik perusahaan tersebut.
Hal itu persis ayat seperti ini, jika untuk kepentingannya sendiri, maka emiten ingin mendapat keuntungan/gaji yang besar. Tapi jika untuk investornya, dia beri hasil yang sedikit:
“Celakalah orang-orang yang mengurangi, apabila mereka itu menakar kepunyaan orang lain (membeli) mereka memenuhinya, tetapi jika mereka itu menakarkan orang lain (menjual) atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Apakah mereka itu tidak yakin, bahwa kelak mereka akan dibangkitkan dari kubur pada suatu hari yang sangat besar, yaitu suatu hari di mana manusia akan berdiri menghadap kepada Tuhan seru sekalian alam?!” (al-Muthafifin: 1-6)
Saya punya teman yang bergerak di bidang Baitul Maal wa Tamwil, dengan meminjamkan uang Rp 50 ribu, rata-rata dia bisa mendapatkan uang dari bagi hasil (7 untuk pedagang dan 3 untuk BMT) sebesar Rp 30 ribu dalam waktu hanya 20 hari. Itu berarti dalam waktu kurang dari 1 bulan, dia mendapat keuntungan sebesar 60%. Dalam setahun jika kondisinya seperti itu, paling tidak BMT-nya mendapat keuntungan 720%. Modalnya dalam setahun kembali sebesar 7 kali lipat lebih.
Jadi tanpa jual-beli saham, dengan berbagi keuntungan saja investor seharusnya bisa hidup jika emiten (syarikat)nya jujur. Mungkin seorang investor tidak akan mendapat keuntungan sebesar 720% seperti di atas, tapi seharusnya 50% saja sudah bisa didapatkannya jika tidak terjadi gharar. Sebab bisnis itu jika dijalankan dengan profesional, keuntungannya bisa jauh di atas bunga bank yang ada (9%), bukan di bawahnya.
Dalam Islam, bagi hasil dilakukan secara adil, sehingga baik pengusaha maupun investor bisa hidup dari keuntungan tersebut.
Imam Malik berkata dalam kitab Al Muwaththo: Dari Al ‘Ala bin Abdul Rahman bin Yaqub,dari bapaknya, dari kakeknya ra: “Bahwasanya ia menggunakan harta Usman (untuk berbisnis) yang keuntungannya dibagi dua”
Jual-beli saham di pasar sekunder terjadi karena emiten tidak bertanggung-jawab untuk memberikan bagi hasil yang adil kepada investor atau mengembalikan modal investor jika investor membutuhkannya. Tanggung-jawab itu dilemparkan kepada investor lain yang ada di bursa saham. Bisa terjadi ketika saham emiten (perusahaannya bangkrut) tersebut menjadi 0, Direktur beserta komisaris atau pemilik perusahaan yang asli (yang ada sebelum IPO) bisa tetap menikmati kekayaan berupa rumah dan mobil mewah dari uang yang diperolehnya lewat perusahaan tersebut ketika masa jaya, sementara investor non emiten menjadi bangkrut. Itulah sebabnya, ada saham yang meski harganya tinggal 20 rupiah, para Direksi dan pemilik perusahaan yang asli tetap saja bisa mempunyai rumah dan mobil mewah yang dijaga oleh bodyguard mereka, sementara investor yang bertransaksi jual-beli saham menderita.
Seandainya memang semua investor sepakat untuk menjual perusahaan, maka yang dijual bukanlah saham yang tidak nyata itu, tapi aset perusahaan tersebut. Misalkan aset perusahaan itu adalah gedung, maka yang dijual adalah gedungnya, uangnya dibagi kepada para syarikat yang ada. Itulah cara Islam.
“Dari Jabir ra katanya: Berkata Rasulullah SAW: Barang siapa yang berserikat pada rumah atau kebun (milik bersama), tidaklah dia boleh menjualnya sebelum memberitahukan kepada teman syarikatnya. Jika dia setuju, dibelinya. Jika tidak, baru dijual kepada orang lain”
Dalam Islam, seorang investor bisa menetapkan syarat:
“Dari Hakim putera Hizam ra, ia berkata: “Bahwasanya ia memberikan syarat kepada seseorang yang ingin menyerahkan hartanya sebagai modal. Katanya: Janganlah kamu jadikan hartaku padabinatang, jangan dibawa ke laut, jangan pula menyeberang sungai. Jika kamu melanggarnya, kamu harus mengganti hartaku ini” (HR Imam Daruquthni)
Pada Bursa saham yang ada, seorang pemegang saham minoritas tidak bisa melakukan hal itu. Ketika pemegang saham mayoritas merubah core business-nya menjadi lain, misalnya dari Asuransi menjadi perusahaan Dotcom dan nilai sahamnya menjadi hancur, pemegang saham minoritas tidak dapat mengambil kembali uangnya.
Pada jual-beli saham pada pasar sekunder satu saham bisa ditawar oleh banyak orang baik beli atau jual pada harga yang berbeda, sehingga harganya tidak menentu. Hal ini haram karena melanggar larangan Nabi:
“Dari Abu Hurairah ra katanya, bahwa Rasulullah SAW bersabda: Janganlah seorang Muslim mengajukan tawaran kepada barang yang sedang ditawar orang lain” (HR Muslim)
Seorang investor yang membeli saham kemudian akhirnya dijual lewat Bursa Saham guna mendapatkan capital gain ketika harga naik meski mungkin menjualnya dalam rentang waktu yang lama, tak ubahnya seperti seorang penimbun/spekulator:
“Dari Ma’mar bin Abdullah ra, Rasulullah bersabda: “Tidak ada yang menimbun (agar harga naik), kecuali orang yang berdosa” (HR Muslim)
Kalau pada perdagangan tradisional setiap rantai berusaha mendekatkan barang ke para pemakai dengan secepat-cepatnya dengan skema:
Produsen->Distributor->Retailer/Pedagang eceran->Konsumen/Rakyat
Maka pada perdagangan saham, 90% lebih justru berputar-putar antara pemain saham. Mereka cenderung menimbun agar harga saham jadi naik:
Rasulullah saw. bersabda, “Siapa yang merusak harga pasar, sehingga harga tersebut melonjak tajam, maka Allah akan menempatkannya di dalam neraka pada hari kiamat.” (HR. At-Tabrani dai ma’qil bin Yasar).
Rasulullah saw. berkata, “Siapa yang melakukan penimbunan barang dengan tujuan merusak harga pasar, sehingga harga naik secara tajam, maka ia telah berbuat salah.” (HR. Ibnu Majah dari Abu Hurairah).
Rasulullah saw. bersabda, “Para pedagang yang menimbun barang makanan (kebutuhan pokok manusia) selama 40 hari, maka ia terlepas dari (hubungan dengan) Allah, dan Allah pun melepaskan (hubungan dengan)-nya.” (HR. Ibnu Umar).
Sesuatu itu haram jika mudlorotnya lebih besar dari manfaatnya. Jual-beli sesuatu yang haram adalah haram juga.
Rasulullah s.a.w. bersabda sebagai berikut:
“Sesungguhnya Allah dan RasulNya telah mengharamkan memperdagangkan arak, bangkai, babi dan patung.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
“Sesungguhnya Allah apabila mengharamkan sesuatu, maka Ia haramkan juga harganya.” (Riwayat Ahmad dan Abu Daud)
Mungkin dengan dihilangkannya Jual-beli saham pada pasar sekunder, orang-orang yang ingin mendirikan Pasar Modal Syariah akan kecewa, karena PMS tidak akan mendapatkan fee jual-beli saham yang nilainya lumayan (bisa mencapai 300 juta per hari). Bagaimana PMS bisa hidup setelah IPO?
Saya menyarankan (entah ini benar atau salah), sebaiknya untuk setiap perusahaan yang IPO, PMS mendapat bagi hasil sebesar 5% sebagai salah satu syarikat. PMS berperanan untuk menyeleksi emiten yang akan IPO apakah layak atau tidak, serta terus mengawasi emiten tersebut (mungkin sebagai komisaris) apakah berjalan dengan benar atau tidak, sehingga tidak merugikan investor.
Jika PMS berfokus pada penanaman modal untuk perusahaan-perusahaan baru di pasar perdana, maka banyak perusahaan akan berdiri, lapangan kerja terbuka luas, produksi bertambah banyak sehingga bisa memenuhi kebutuhan nasional (Indonesia bisa jadi mandiri), keuntungan terus bertambah, pada akhirnya ini akan menguntungkan PMS sendiri walau PMS mungkin didirikan atas niat lillahi ta’ala.
Sesungguhnya, pendirian Pasar Modal Syariah tentu didasarkan pada pertimbangan bahwa Pasar Modal Konvensional tidak atau kurang memenuhi syariah. Jika PMS ternyata sama dengan Pasar Modal Konvensional atau Pasar Modal Konvensional itu halal, untuk apa kita mendirikan PMS?
Tidak semua yang datang dari Barat itu jelek, dan tidak semua yang datang dari Barat itu baik. Oleh karena itu, tidak sepatut-nya ummat Islam langsung mengadopsi segala hal dari Barat, kemudian dengan sedikit permak langsung dilabeli dengan kata “Syariah” sehingga jadi jual-beli saham syariah. Janganlah kita membebek Barat secara membabi-buta, sehingga yang buruknya pun kita ikuti sebagaimana yang diperingatkan oleh Nabi SAW:
“Sungguh kalian akan mengikuti sunnah (cara/metode) orang-orang yang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sampai sekalipun mereka memasuki lubang biawak, kalian tetap mengikutinya.” Kami bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah mereka itu orang Yahudi dan Nasrani?” Beliau menjawab: “Siapa lagi (kalau bukan mereka)?” (HR Bukhari dan Muslim)
Islam punya konsep sendiri. Hal dari Barat bisa diterima jika memang tidak bertentangan dan sesuai dengan sumber ajaran Islam, yaitu Al Qur’an dan Hadits.
Demikian sekedar ulasan saya tentang jual-beli saham di pasar sekunder. Pendapat saya bisa benar atau salah, tapi insya Allah Al Qur’an tidak mungkin salah serta Rasul Allah tentu lebih benar ketimbang kita semua. Ada yang berpendapat jual-beli saham itu halal (mohon diberikan dalil Al Qur’an dan Hadits-nya), ada yang bilang syubhat, ada pula yang tegas menyatakan haram.
Dari Nu’man bin Basyir ra diberitakan bahwa Nabi bersabda: “Sebenarnya yang halal itu jelas dan yang haram jelas pula. Di antara yang halal dan haram itu ada yang syubhat (tidak jelas), banyak orang tak mengetahuinya. Siapa yang menghindar dari syubhat, dia telah memelihara agama dan kehormatannya. Siapa yang terkena syubhat, maka dia terkena yang haram…” (HR Muslim)
Dari hadits di atas serta kesimpang-siuran status jual-beli saham di pasar sekunder, jelaslah bahwa jual-beli saham itu jika tidak haram, dia adalah syubhat, karena itulah orang berbeda pendapat. Meninggalkan hal syubhat itu lebih utama ketimbang mengerjakannya, apalagi jika bahayanya lebih besar dari manfaatnya.
Kesimpulan
1.Jika penjualan saham dilakukan oleh pengusaha/emiten kepada masyarakat tanpa ada tipuan/manipulasi yang merugikan pihak lain pada saat IPO (penjualan saham perdana) maka halal.
2.Jika jual-beli saham dilakukan sesama investor/spekulan saham dengan harapan mendapat keuntungan dengan menjual saham tersebut ketika harganya naik, maka ini spekulasi. Tak jauh beda dengan judi yang jelas diharamkan.
Referensi:
Al Qur’an
Shahih Bukhari
Shahih Muslim
Diskusi di milis ekonomi-syariah
Berikut beberapa penipuan di Bursa Saham.  Skandal Kebangkrutan Enron perusahaan dengan revenue US$ 101 milyar (Rp 900 trilyun) membuat Perusahaan Akuntan Publik Arthur Andersen tutup karena membuat laporan keuangan palsu seolah-olah ENRON untung. Pemegang sahamnya rugi sampai US$ 74 milyar atau Rp 630 trilyun!
Sementara mantan pimpinan Bursa Saham NASDAQ, Bernard Madoff, menipu nasabahnya hingga US$ 50 milyar dengan cara membayar nasabah lama dengan uang nasabah baru. Gali lobang tutup Lobang.
Lehman Brothers bahkan bangkrut dengan meninggalkan hutang US$ 613 milyar atau sekitar Rp 5.400 trilyun lebih! 5 kali lipat dari APBN Indonesia!
Di Indonesia pun ada kasus Sarijaya Sekuritas yang pemilik dan Direkturnya dituduh menggelapkan uang nasabah hingga Rp 245 milyar.
Itulah akibat spekulasi di dunia saham dan sektor keuangan.
Silahkan lihat berbagai artikel tentang penipuan di Bursa Saham dari berbagai media:
http://infoindonesia.wordpress.com/2010/09/23/skandal-penipuan-di-bursa-saham-enron-sarijaya-rina-dsb/
http://alhikmah.ac.id/2011/tidak-boleh-menimbun-barang/

Mendukung Fatwa Haram Merokok MUI

Ini sumbernya, terima kasih kepada bapak Agus Nizami: http://agusnizami.wordpress.com/2008/08/14/mendukung-fatwa-haram-merokok-mui/

Perhatikan data sebagai berikut:
  • Angka kematian akibat rokok di Indonesia mencapai 427.923 jiwa/tahun
  • Berdasarkan hasil penelitian KPAI perokok aktif di Indonesia sekitar 141,4 juta orang
  • Dari 70 juta anak di Indonesia, 37 persen atau 25,9 juta anak diantaranya merokok.
  • Sekitar 43 juta anak usia hingga 18 tahun terancam penyakit mematikan
  • Tahun 2006 konsumsi rokok di Indonesia 230 milyar batang atau sekitar Rp 184 trilyun/tahun

  • Untuk kepala keluarga dengan penghasilan Rp 1 juta/bulan dan pengeluaran rokok Rp 240 ribu/bulan, maka pengeluaran rokok mencapai 24% padahal banyak anak kekurangan gizi dan putus sekolah. Belum biaya pengobatan yang besarnya sekitar 2,5 kali dari biaya rokok yang dikeluarkan. Artinya jika pengeluaran untuk rokok besarnya Rp 184 Trilyun/tahun, biaya untuk pengobatan karena merokok sekitar Rp 460 Trilyun/tahun. Satu pemborosan yang disebut Allah sebagai saudara setan (Al Israa’:26-27)
  • Di bungkus rokok disebut bahwa merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, gangguan kesehatan janin, dan impotensi. Asap rokok mengandung ribuan bahan kimia beracun dan bahan-bahan yang dapat menimbulkan kanker (karsinogen). Bahkan bahan berbahaya dan racun dalam rokok tidak hanya mengakibatkan gangguan kesehatan pada orang yang merokok, namun juga kepada orang-orang di sekitarnya yang tidak merokok yang sebagian besar adalah bayi, anak-anak dan ibu-ibu yang terpaksa menjadi perokok pasif oleh karena ayah atau suami mereka merokok di rumah. Padahal perokok pasif mempunyai risiko lebih tinggi untuk menderita kanker paru-paru dan penyakit jantung ishkemia. Sedangkan pada janin, bayi dan anak-anak mempunyai risiko yang lebih besar untuk menderita kejadian berat badan lahir rendah, bronchitis dan pneumonia, infeksi rongga telinga dan asthma.
Dari data di atas merokok merusak kesehatan (diri sendiri dan orang lain) dan pemborosan sehingga anak jadi kurang gizi dan putus sekolah oleh karena itu MUI harus mengeluarkan Fatwa Haram Merokok. Apalagi ulama di Saudi, Malaysia, dan Iran sudah mengharamkannya.