Tuesday 28 February 2012

Want vs Wanting


  According to the Merriam Webster dictionary, want has the meaning of: as verb: 1 : to fail to possess : LACK  2 : to feel or suffer the need of 3 : NEED, REQUIRE 4 : to desire earnestly : WISH; as noun : 1 : a lack of a required or usul amount : SHORTAGE 2 : dire need : DESTITUTION 3 : something wanted :DESIRE 4 : personal defect : FAULT

  Ever saw the movie Gods Must Be crazy, part I and II? 

  Even if you haven't, let's ponder a little. So what's the real meaning of want? Is it wanting this, wanting that...or simply wishing to fulfil something that is due and yet lacking, something substantial? Like the need for food, housing, clothing...the need to improve oneself to be a better person...

  So, we indeed blessed by God's grace called desire. It's what separate us from animals and plants. But what is really deserved to be desired for? Just because we haven't owned a Ferrari or Lamborghini, 

or haven't collected 200 plus new g.i.joe figures, haven't bought the latest genuine European perfumes, 

will that makes us a stupid, deficient person? Will it even render us death? Or will it deliver us straight to hell, just because we haven't earned, haven't purchased them? Not to mention haven't shown them to others as collection...

  Mind you and mind myself, there are so many people in this world alone that still haven't been able to figure out not just what will they have for dinner or lunch, but even when will they ever eat or eat decently, ever again.


 

Monday 27 February 2012

Kisah Anak-Anak Yang Serakah

Pada zaman dahulu, ada seorang petani yang suka bekerja keras dan murah hati, yang memiliki beberapa anak laki-laki yang malas dan serakah.

Menjelang ajalnya, petani itu mengatakan kepada anak-anaknya bahwa mereka akan menemukan harta karun kalau mereka mau menggali di suatu ladang tertentu.

Segera setelah orang tua itu meninggal, anak-anaknya bergegas ke ladang tersebut, menggalinya dari satu sisi ke sisi lain, dengan keputusasaan dan konsentrasi yang semakin meningkat. Namun, tak kunjung mereka temukan emas di tempat yang ayahnya sebut itu.

Mereka sama sekali tidak menemukan emas. Menyadari bahwa karena kemurahan hatinya, ayah mereka pasti telah membagi-bagkan emasnya semasa hidupnya, mereka pun berhenti mencari.

Akhirnya, terpikir oleh mereka bahwa karena ladang itu sudah terlanjur digarap, tak ada salahnya bila ditanami benih. Mereka pun menanam gandum, yang menghasilkan panen berlimpah-limpah. Mereka menjualnya, dan pada tahun itu juga hidup mereka makmur.

Setelah musim panen lewat, mereka berpikir-pikir kembali tentang kemungkinan bahwa harta karun itu terluput dari penggalian mereka. Mereka pun menggali lagi ladang mereka, tetapi hasilnya sama saja.

Setelah bertahun-tahun lamanya, mereka menjadi terbiasa bekerja keras dan mengenali musim, sesuatu yang belum pernah mereka pahami sebelumnya. Sekarang, mereka mengerti cara sang ayah melatih mereka, dan mereka pun menjadi petani yang jujur dan bahagia. Pada akhirnya, mereka memiliki cukup kekayaan sehingga tak lagi risau perihal harta terpendam itu.



Demikianlah ajaran tentang pemahaman terhadap nasib manusia dan takdir kehidupan. Guru yang menghadapi ketidaksabaran, kebingungan, dan keserakahan murid-murid, harus mengarahkan mereka kepada suatu kegiatan yang diketahuinya bisa bermanfaat dan konstruktif bagi mereka, tetapi yang kegunaan dan tujuannya seringkali tersembunyi dari mereka, karena sifat kekanak-kanakan mereka sendiri.

Saturday 25 February 2012

Mengapa Jual-Beli Saham itu Haram

 In sumbernya, terima kasih kepada penyedianya: http://media-islam.or.id/2007/11/26/mengapa-jual-beli-saham-itu-haram/


Sesungguhnya Pasar Modal itu halal jika bertujuan untuk mempertemukan antara pengusaha yang memerlukan modal dengan investor yang kelebihan uang, sehingga sektor real bisa bangkit. Dengan cara ini, maka produksi, baik barang maupun jasa bisa meningkat untukk memenuhi kebutuhan masyarakat, serta membuka lapangan kerja bagi banyak orang. Hal seperti itu halal, dengan catatan tidak ada gharar (penipuan) atau riba yang mengurangi hak dan merugikan investor.
Setelah itu, perusahaan berjalan dengan suntikan modal investor. Sesungguhnya kerjasama seperti ini (Mudlorobah atau Musyarokah) yang kalau di zaman modern mungkin disebut dengan join venture sudah dikenal dan dihalalkan dalam Islam selama tidak ada tipu-menipu.
Dalam hadis Qudsi, Allah mengatakan:
“Saya adalah ketiga dari dua orang yang bersyarikat itu, selama salah satu pihak tidak mengkhianati kawannya; jika salah satu mengkhianati kawannya, maka saya akan keluar dari antara mereka berdua itu.” (Riwayat Abu Daud dan Hakim dan ia sahkannya)
Ibnu Razin dalam kitab Jami’nya menambahkan: (dan akan datang syaitan).
“Dan tolong-menolonglah kamu atas kebaikan dan tagwa.” (al-Maidah: 3)
Sebagian ummat Islam menganggap bahwa jual-beli saham di Bursa Saham (Stock Market) adalah halal, sementara sebagian lainnya menganggap haram karena termasuk spekulasi atau judi.
Manakah yang benar? Sebagai ummat Islam, jika ada perbedaan seperti itu, hendaklah kita kembali berpegang pada Al Qur’an dan Hadits
“Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” [An Nisaa:59]
Kita memang tidak bisa mengklaim sebagai yang paling benar, tapi sesungguhnya Al Qur’an itu tidak ada keraguan bagi orang yang takwa serta mentaati Nabi itu adalah perintah dari Al Qur’an. Al Qur’an dikenal juga sebagai Al Furqon, yang membedakan mana yang haq dengan yang bathil. Untuk itu, kita harus berpedoman pada Al Qur’an dan Hadits, bukan cuma berdasarkan pendapat kita sendiri.
Ada yang berpendapat bahwa jual-beli saham halal dengan alasan sama dengan jual-beli barang lainnya seperti buah atau beras. Hal ini kurang tepat.
Saham itu baik barang maupun nilainya tidak jelas, sehingga membeli atau menjualnya adalah tindakan yang spekulatif. Jangankan saham, buah saja meskipun halal, tapi jika kondisinya belum jelas dilarang diperjual-belikan:
Menurut jabir; “Rasulullah s.a.w. melarang penjualan buah-buahan sebelum ia masak.” (Hadis riwayat Bukhari).
Anas juga menyatakan, “Rasulullah s.a.w. melarang Munabazah yaitu menjual pakaian dengan melemparkan kepada pelanggan sebelum dia mempunyai masa untuk meneliti atau melihatnya; Beliau juga melarang Mulamasah, menjual pakaian dengan hanyamenyentuhnya sebelum pembeli sempat melihatnya; Beliau juga melarang Muhaqilah yang berupa amalan menjual jagung yang masih melekat pada empulurnya untuk ditukarkan dengan jagung bersih; malah beliau melarang Mukhadarah yang berupa jualan benda-benda yang hijauatau belum masak; dan Beliau juga melarang Muzabanah yang berupa penjualan kurma yang segar (sudah diproses) dan penjualan buah-buahan yang belum masak yang masih di atas pokok.” (Hadisriwayat Bukhari)
“Dari Jabir bin Abdullah ra katanya: Rasulullah SAW melarang kontrak jual beli hasil buah kebun untuk beberapa tahun lamanya” (HR Muslim).
Kenapa Nabi melarang hal itu? Karena itu itu tindakan spekulatif, walau pun buah itu halal. Jika buah-buahannya masak, pembeli untung, tapi jika tidak masak atau busuk, maka pembeli rugi. Begitu pula dengan saham.
Nabi melarang jual-beli tanpa si penjual memberi kesempatan bagi si pembeli untuk meneliti barang yang dibelinya, misalnya hanya memegang tanpa melihat, atau langsung dilempar begitu saja. Boleh dikata, hampir semua pembeli di bursa saham membeli saham tanpa pernah pergi ke perusahaannya dan melihat assetnya apakah benar sesuai dengan laporan keuangan atau tidak.
Ada yang berpendapat jual-beli saham halal karena dalam hal muamalah sesuatu itu halal kecuali ada dalil yang melarangnya. Dalam hadits Nabi, kita mengetahui bahwa berserikat membentuk perusahaan antara pengusaha dan investor itu sudah ada di zaman Nabi dan dibolehkan. Pada zaman Nabi, tidak ada investor yang memperjual-belikan sahamnya, oleh karena itu tidak ada “larangan” untuk jual-beli saham. Tapi adakah itu berarti jual-beli saham halal?
Sesungguhnya kita tidak akan menemui larangan memakai narkoba atau bermain poker di Al Qur’an dan Hadits, tapi itu tidak berarti bahwa memakai narkoba atau bermain poker itu halal.
“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfa`at bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfa`atnya”. Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: “Yang lebih dari keperluan.” Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir,” [Al Baqoroh:219]
Narkoba digolongkan ulama sebagai khamar karena membuat mabuk dan pikiran tidak berfungsi sementara poker digolongkan sebagai judi, karena pada saat ada yang menang, ada pula yang kalah atau menderita. Dari ayat Al Qur’an di atas juga jelas bahwa ada pertimbangan antara manfaat dengan mudlorot atau kerusakan yang bisa ditimbulkan. Jika lebih banyak mudlorotnya ketimbang manfaat, jangankan jual-beli saham, ibadah Haji yang termasuk wajib pun jika keadaan sangat berbahaya dan bisa menimbulkan kematian (misalnya perang besar di daerah itu), bisa gugur hukumnya.
Kenapa jual-beli barang biasa misalnya kebutuhan pokok seperti beras, ikan, atau pakaian halal meski spekulasi bisa terjadi (walau sedikit dan ini juga dilarang dalam Islam) halal, sementara jual-beli saham haram? Karena manfaat yang pertama lebih besar ketimbang bahayanya. Tanpa jual-beli seperti beras, kehidupan tidak akan berjalan. Rakyat tidak bisa makan kecuali dia menanam atau membuat sendiri. Tapi tanpa jual-beli saham, orang tetap bisa hidup tanpa ada gangguan sedikitpun. Bahkan hal itu lebih bermanfaat, karena dia bisa mengerjakan sesuatu yang real.
Charlie Sheen yang berperan sebagai Bud Fox, pialang saham muda yang mengagumi Gordon Gekko (master pemain saham yang licik), dinasehati ayahnya (Martin Sheen) di dalam film Wall Street agar berusaha/bekerja dengan tangannya untuk menghasilkan produk yang nyata, ketimbang bermain saham yang tak menghasilkan apa-apa kecuali uang dari orang lain.
Dalam satu hadits, Nabi juga berkata bahwa sesungguhnya Allah mencintai orang yang bekerja dengan tangannya sendiri. Bukan orang yang cuma duduk-duduk saja membeli saham sambil berharap suatu saat dapat capital gain.
“Tiada makanan yang lebih baik daripada hasil usaha tangannya sendiri.” (HR. Bukhari)
“Tidaklah seorang di antara kamu makan suatu makanan lebih baik daripada memakan hasil keringatnya sendiri” (HR Baihaqi)
Bahkan Rasulullah pernah mencium tangan Sa’ad bin Mu’adz ra tatkala beliau melihat bekas kerja pada tangan Mu’adz. Seraya beliau bersabda: “(Ini adalah) dua tangan yang dicintai Allah Ta’ala”
Jual-beli saham pada pasar sekunder, jika trend grafiknya naik, mungkin semua orang akan senang. Tapi jika grafiknya lurus horisontal, maka jika fluktuatif, akan ada yang menang dan ada yang rugi. Persis seperti judi. Jika ada yang menang, maka ada yang harus menderita. Tidak mungkin semua mendapat kemenangan. Misalnya untuk untung, kita harus beli di harga rendah dan menjualnya di harga tinggi, misalnya kita beli harga saham di harga Rp 1000 dan menjualnya di harga Rp 2000. Agar bisa terjadi seperi itu, tentu ada yang harus membeli di harga tinggi (Rp 2000) dan menjualnya di harga rendah (Rp 1000). Kita mungkin menang, tapi yang lainnya rugi.
Pada kondisi trend grafik menurun, lebih parah lagi. Ada yang rugi sedikit, ada pula yang rugi besar hingga harus menjual rumah atau kehilangan milyaran rupiah. Contoh terakhir adalah kasus bunuh dirinya seorang pemain saham yang kalah, sehingga uang nasabahnya sebesar Rp 500 milyar lenyap begitu saja. Saya juga mengamati, dari transaksi jual-beli saham antara tahun 2002-2003, ada sekuritas yang transaksinya merugi hingga Rp 150 milyar, ada pula yang menang hingga Rp 300 milyar. Kemenangan satu pemain saham umumnya berasal dari kerugian pemain lainnya.
“Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).” [Al Maa-idah:91]
Islam mensyaratkan adanya saling kerelaan (senang) di antara pembeli dan penjual:
“Hai orang-orang yang beriman! Jangan kamu makan harta kamu di antara kamu dengan cara yang batil, kecuali dengan jalan perdagangan dengan adanya saling kerelaan dari antara kamu.” (an-Nisa’: 29)
Kerelaan di atas maksudnya baik pembeli dan penjual tidak kecewa atau dirugikan. Pada transaksi riba, mungkin antara debitur dan kreditur menanda-tangani peminjaman dengan sukarela, tapi pada dasarnya itu haram, karena debitur dirugikan. Demikian pula dengan jual-beli saham terutama ketika grafik rata atau menurun.
Dengan jual-beli saham, berapa banyak pemain saham yang dianggap master dan dikagumi juniornya akhir menderita kekalahan dan bahkan ada yang akhirnya bunuh diri. Seorang pemain saham, bahkan bisa melotot memonitor pergerakan harga saham sepanjang hari agar tidak kehilangan kesempatan menarik keuntungan jika seandainya harga saham turun atau naik. Pernah ada kejadian seorang nasabah yang ingin memukul broker-nya dengan palu karena rugi. Saya ragu jika itu sesuai dengan syariah…
Ada yang berpendapat, jika berusaha di sektor real juga kita bisa rugi. Itu benar, tapi kenyataan menunjukkan bahwa hal itu adalah halal, dan kenyataannya, lebih dari 70% para pengusaha itu berhasil. Jika seandainya rugi, maka prosesnya tidak secepat pada saham. Seorang pengusaha dengan modal 1 milyar, paling-paling dia bangkrut setelah 1-2 tahun beroperasi.Tapi dalam bermain saham, sama halnya dengan judi, uang sebesar itu bisa lenyap dalam semalam atau sebulan saja. Misalnya dia membeli saham A di harga 1 milyar, kemudian sebulan dia jual Rp 500 juta. Kemudian dia beli saham B, sebulan kemudian karena harganya turun terpaksa dia jual Rp 100 juta. Kerugian terjadi begitu cepat, apalagi jika saham yang dibeli nilainya jadi 0. Jika pada sektor real seorang pengusaha yang jatuh akhirnya bisa belajar dan akhirnya sukses, pada saham proses begitu cepat dan bisa menimbulkan kecanduan seperti judi.
“…supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” [Al Hasyr:7]
Jual-beli saham itu haram karena melanggar perintah Allah pada surat Al Hasyr ayat 7. Pada Mudlorobah dan Musyarokah, pengusaha yang memerlukan modal bisa mendapat uang dari investor untuk menjalankan usahanya. Jika jual-beli saham diadakan, maka modal yang diperlukan untuk usaha itu akhirnya beredar antara investor satu dengan investor yang lain, sehingga sektor real justru tidak bisa berkembang karena kekurangan dana.
Contohnya, di Bursa saham transaksi jual-beli saham mencapai antara Rp 200 milyar hingga Rp 1 trilyun PER HARI. Uang tersebut tidak bermanfaat apa-apa karena hanya beredar di antara orang-orang kaya (pemilik uang) saja. Padahal jika uang itu diinvestasikan untuk membuka perusahaan baru, paling tidak 200 perusahaan bisa berdiri. Misalkan kita mengimpor kedelai sebesar Rp 3 trilyun per tahun dari AS, bisa jadi dengan uang di atas, kita bisa menggerakan sektor pertanian, sehingga ratusan ribu petani bisa bekerja dan memberi nafkah bagi jutaan anggota keluarganya, rakyat bisa terpenuhi kebutuhan pangannya, dan negara bisa menghemat devisa sebesar Rp 3 trilyun per tahunnya.
Tapi jika kita menganggap jual-beli saham itu halal meski bertentangan dengan ayat Al Hasyr ayat 7, maka uang sebesar Rp 200 milyar hingga Rp 1 trilyun itu tidak berarti apa-apa kecuali beredar di antara sesama spekulator saham. Ekonomi bisa mandek…
Jual-beli saham juga bertentangan dengan konsep Syarikat Islam. Dalam konsep Syarikat Islam, orang-orang yang bekerjasama membentuk perusahaan, baik pengusaha atau pun investor saling mengenal dan terikat kontrak yang jelas. Konsepnya mungkin hampir mirip pada perusahaan join venture modern.
“Dari Saib Al Makhzumi ra: Dia adalah syarikat (partner bisnis) Rasulullah SAW ketika belum menjadi Rasul. Setelah peristiwa Fathu Mekkah, Nabi berkata: “Selamat datang saudaraku dan syarikatku” (HR Imam Ahmad, Abu Daud, dan Ibnu Majah)
Begitulah konsep persekutuan bisnis dalam Islam. Sesama partner saling mengenal. Kalau dalam jual-beli saham, para partner bisnis mayoritas majhul atau tidak dikenal. Saking liquid-nya, pemegang saham satu perusahaan bisa berubah-rubah baik jumlah mau pun orangnya. Seorang Liem Sioe Liong atau James Riady (pemilik perusahaan yang asli), boleh dikata tidak mengenal para investor yang membeli saham-nya lewat Bursa Saham di pasar sekunder. Mana yang lebih baik, sistem Islam atau sistem Kapitalis?
Ada yang berpendapat bahwa semua itu tergantung niat. Jika niatnya membeli saham untuk investasi, maka jual-beli saham di pasar sekunder halal. Jika spekulasi, maka haram. Semudah itukah?
Jika niatnya memang investasi, tentu dia akan menyerahkan modalnya langsung kepada pengusaha yang memerlukan modal baik langsung atau di pasar perdana (IPO). Tapi jika menyerahkan uangnya kepada pemilik saham yang menjual sahamnya (spekulan) di pasar sekunder, itu sama saja dengan spekulasi. Ini mengakibatkan uang hanya beredar di antara sesama pemilik uang seperti yang disebut di atas.
Niat seperti itu jika tidak dilakukan dengan cara yang benar, sama saja dengan bersedekah pada orang berduit yang kemudian memakainya untuk berjudi atau bermaksiat. Jika dia sudah mengetahui hal itu tapi tetap melaksanakannya, sungguh dia telah tolong-menolong dalam kemaksiatan seperti yang disebut dalam Al Qur’an.
Ada juga pengamat yang berkata bahwa jual-beli saham untuk orang awam yang tidak punya data itu haram, karena resikonya besar. Tapi bagi yang ahli serta punya data, itu halal. Ini sama dengan mengatakan bahwa orang yang tidak mabuk, halal meminum khamar, atau seorang penjudi yang jago halal untuk berjudi. Islam tidak diskriminatif seperti itu…
Dari Abu Hurairah ra bahwa Nabi SAW bersabda: “Akan datang suatu masa di mana orang tak peduli akan apa yang diambilnya, apakah dari yang halal atau dari yang haram” (HR Bukhari)
Mungkin ada yang berpendapat bahwa jual-beli saham itu perlu agar investor yang cuma punya saham bisa mendapatkan uang dengan menjualnya jika ada keperluan yang mendesak.
Sesungguhnya dari ayat dan hadits di atas jelas bahwa jual-beli saham banyak mudlorotnya dan dilarang oleh agama. Jika investor itu memang butuh uang, maka dia bisa menarik modalnya dari syarikatnya jika uangnya memang ada. Tapi jika uangnya tidak ada, maka dia bisa berhutang, sebab berhutang itu selama tidak ada ribanya dihalalkan oleh agama. Ada baiknya Pasar Modal Syariah bekerjasama dengan Bank Syariah untuk meminjamkan uang bagi investor yang kepepet. Dan ada baiknya para investor untuk tidak menginvestasikan seluruh uang yang dimilikinya, serta menabung sebagian uangnya di Bank Syariah, sehingga tidak sampai melakukan jual-beli saham.
Jual-beli saham terjadi selain karena emitennya performance-nya kurang baik, mungkin juga disebabkan adanya kecurangan dari emiten sehingga para investor tidak bisa mendapatkan keuntungan yang layak, kecuali dari capital gain lewat jual-beli saham di pasar sekunder. Bayangkan, ada satu perusahaan besar dengan banyak produk yang dipakai luas di masyarakat, tapi hanya memberikan deviden sebesar 2,3% saja per tahun dari nilai pasar yang ada jika kita membelinya. Itu berarti jika kita membeli saham itu, maka pokok modal kita akan kembali setelah lebih dari 40 tahun! Padahal Direksinya bergaji puluhan juta rupiah per bulan, demikian pula pemilik perusahaan tersebut.
Hal itu persis ayat seperti ini, jika untuk kepentingannya sendiri, maka emiten ingin mendapat keuntungan/gaji yang besar. Tapi jika untuk investornya, dia beri hasil yang sedikit:
“Celakalah orang-orang yang mengurangi, apabila mereka itu menakar kepunyaan orang lain (membeli) mereka memenuhinya, tetapi jika mereka itu menakarkan orang lain (menjual) atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Apakah mereka itu tidak yakin, bahwa kelak mereka akan dibangkitkan dari kubur pada suatu hari yang sangat besar, yaitu suatu hari di mana manusia akan berdiri menghadap kepada Tuhan seru sekalian alam?!” (al-Muthafifin: 1-6)
Saya punya teman yang bergerak di bidang Baitul Maal wa Tamwil, dengan meminjamkan uang Rp 50 ribu, rata-rata dia bisa mendapatkan uang dari bagi hasil (7 untuk pedagang dan 3 untuk BMT) sebesar Rp 30 ribu dalam waktu hanya 20 hari. Itu berarti dalam waktu kurang dari 1 bulan, dia mendapat keuntungan sebesar 60%. Dalam setahun jika kondisinya seperti itu, paling tidak BMT-nya mendapat keuntungan 720%. Modalnya dalam setahun kembali sebesar 7 kali lipat lebih.
Jadi tanpa jual-beli saham, dengan berbagi keuntungan saja investor seharusnya bisa hidup jika emiten (syarikat)nya jujur. Mungkin seorang investor tidak akan mendapat keuntungan sebesar 720% seperti di atas, tapi seharusnya 50% saja sudah bisa didapatkannya jika tidak terjadi gharar. Sebab bisnis itu jika dijalankan dengan profesional, keuntungannya bisa jauh di atas bunga bank yang ada (9%), bukan di bawahnya.
Dalam Islam, bagi hasil dilakukan secara adil, sehingga baik pengusaha maupun investor bisa hidup dari keuntungan tersebut.
Imam Malik berkata dalam kitab Al Muwaththo: Dari Al ‘Ala bin Abdul Rahman bin Yaqub,dari bapaknya, dari kakeknya ra: “Bahwasanya ia menggunakan harta Usman (untuk berbisnis) yang keuntungannya dibagi dua”
Jual-beli saham di pasar sekunder terjadi karena emiten tidak bertanggung-jawab untuk memberikan bagi hasil yang adil kepada investor atau mengembalikan modal investor jika investor membutuhkannya. Tanggung-jawab itu dilemparkan kepada investor lain yang ada di bursa saham. Bisa terjadi ketika saham emiten (perusahaannya bangkrut) tersebut menjadi 0, Direktur beserta komisaris atau pemilik perusahaan yang asli (yang ada sebelum IPO) bisa tetap menikmati kekayaan berupa rumah dan mobil mewah dari uang yang diperolehnya lewat perusahaan tersebut ketika masa jaya, sementara investor non emiten menjadi bangkrut. Itulah sebabnya, ada saham yang meski harganya tinggal 20 rupiah, para Direksi dan pemilik perusahaan yang asli tetap saja bisa mempunyai rumah dan mobil mewah yang dijaga oleh bodyguard mereka, sementara investor yang bertransaksi jual-beli saham menderita.
Seandainya memang semua investor sepakat untuk menjual perusahaan, maka yang dijual bukanlah saham yang tidak nyata itu, tapi aset perusahaan tersebut. Misalkan aset perusahaan itu adalah gedung, maka yang dijual adalah gedungnya, uangnya dibagi kepada para syarikat yang ada. Itulah cara Islam.
“Dari Jabir ra katanya: Berkata Rasulullah SAW: Barang siapa yang berserikat pada rumah atau kebun (milik bersama), tidaklah dia boleh menjualnya sebelum memberitahukan kepada teman syarikatnya. Jika dia setuju, dibelinya. Jika tidak, baru dijual kepada orang lain”
Dalam Islam, seorang investor bisa menetapkan syarat:
“Dari Hakim putera Hizam ra, ia berkata: “Bahwasanya ia memberikan syarat kepada seseorang yang ingin menyerahkan hartanya sebagai modal. Katanya: Janganlah kamu jadikan hartaku padabinatang, jangan dibawa ke laut, jangan pula menyeberang sungai. Jika kamu melanggarnya, kamu harus mengganti hartaku ini” (HR Imam Daruquthni)
Pada Bursa saham yang ada, seorang pemegang saham minoritas tidak bisa melakukan hal itu. Ketika pemegang saham mayoritas merubah core business-nya menjadi lain, misalnya dari Asuransi menjadi perusahaan Dotcom dan nilai sahamnya menjadi hancur, pemegang saham minoritas tidak dapat mengambil kembali uangnya.
Pada jual-beli saham pada pasar sekunder satu saham bisa ditawar oleh banyak orang baik beli atau jual pada harga yang berbeda, sehingga harganya tidak menentu. Hal ini haram karena melanggar larangan Nabi:
“Dari Abu Hurairah ra katanya, bahwa Rasulullah SAW bersabda: Janganlah seorang Muslim mengajukan tawaran kepada barang yang sedang ditawar orang lain” (HR Muslim)
Seorang investor yang membeli saham kemudian akhirnya dijual lewat Bursa Saham guna mendapatkan capital gain ketika harga naik meski mungkin menjualnya dalam rentang waktu yang lama, tak ubahnya seperti seorang penimbun/spekulator:
“Dari Ma’mar bin Abdullah ra, Rasulullah bersabda: “Tidak ada yang menimbun (agar harga naik), kecuali orang yang berdosa” (HR Muslim)
Kalau pada perdagangan tradisional setiap rantai berusaha mendekatkan barang ke para pemakai dengan secepat-cepatnya dengan skema:
Produsen->Distributor->Retailer/Pedagang eceran->Konsumen/Rakyat
Maka pada perdagangan saham, 90% lebih justru berputar-putar antara pemain saham. Mereka cenderung menimbun agar harga saham jadi naik:
Rasulullah saw. bersabda, “Siapa yang merusak harga pasar, sehingga harga tersebut melonjak tajam, maka Allah akan menempatkannya di dalam neraka pada hari kiamat.” (HR. At-Tabrani dai ma’qil bin Yasar).
Rasulullah saw. berkata, “Siapa yang melakukan penimbunan barang dengan tujuan merusak harga pasar, sehingga harga naik secara tajam, maka ia telah berbuat salah.” (HR. Ibnu Majah dari Abu Hurairah).
Rasulullah saw. bersabda, “Para pedagang yang menimbun barang makanan (kebutuhan pokok manusia) selama 40 hari, maka ia terlepas dari (hubungan dengan) Allah, dan Allah pun melepaskan (hubungan dengan)-nya.” (HR. Ibnu Umar).
Sesuatu itu haram jika mudlorotnya lebih besar dari manfaatnya. Jual-beli sesuatu yang haram adalah haram juga.
Rasulullah s.a.w. bersabda sebagai berikut:
“Sesungguhnya Allah dan RasulNya telah mengharamkan memperdagangkan arak, bangkai, babi dan patung.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
“Sesungguhnya Allah apabila mengharamkan sesuatu, maka Ia haramkan juga harganya.” (Riwayat Ahmad dan Abu Daud)
Mungkin dengan dihilangkannya Jual-beli saham pada pasar sekunder, orang-orang yang ingin mendirikan Pasar Modal Syariah akan kecewa, karena PMS tidak akan mendapatkan fee jual-beli saham yang nilainya lumayan (bisa mencapai 300 juta per hari). Bagaimana PMS bisa hidup setelah IPO?
Saya menyarankan (entah ini benar atau salah), sebaiknya untuk setiap perusahaan yang IPO, PMS mendapat bagi hasil sebesar 5% sebagai salah satu syarikat. PMS berperanan untuk menyeleksi emiten yang akan IPO apakah layak atau tidak, serta terus mengawasi emiten tersebut (mungkin sebagai komisaris) apakah berjalan dengan benar atau tidak, sehingga tidak merugikan investor.
Jika PMS berfokus pada penanaman modal untuk perusahaan-perusahaan baru di pasar perdana, maka banyak perusahaan akan berdiri, lapangan kerja terbuka luas, produksi bertambah banyak sehingga bisa memenuhi kebutuhan nasional (Indonesia bisa jadi mandiri), keuntungan terus bertambah, pada akhirnya ini akan menguntungkan PMS sendiri walau PMS mungkin didirikan atas niat lillahi ta’ala.
Sesungguhnya, pendirian Pasar Modal Syariah tentu didasarkan pada pertimbangan bahwa Pasar Modal Konvensional tidak atau kurang memenuhi syariah. Jika PMS ternyata sama dengan Pasar Modal Konvensional atau Pasar Modal Konvensional itu halal, untuk apa kita mendirikan PMS?
Tidak semua yang datang dari Barat itu jelek, dan tidak semua yang datang dari Barat itu baik. Oleh karena itu, tidak sepatut-nya ummat Islam langsung mengadopsi segala hal dari Barat, kemudian dengan sedikit permak langsung dilabeli dengan kata “Syariah” sehingga jadi jual-beli saham syariah. Janganlah kita membebek Barat secara membabi-buta, sehingga yang buruknya pun kita ikuti sebagaimana yang diperingatkan oleh Nabi SAW:
“Sungguh kalian akan mengikuti sunnah (cara/metode) orang-orang yang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sampai sekalipun mereka memasuki lubang biawak, kalian tetap mengikutinya.” Kami bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah mereka itu orang Yahudi dan Nasrani?” Beliau menjawab: “Siapa lagi (kalau bukan mereka)?” (HR Bukhari dan Muslim)
Islam punya konsep sendiri. Hal dari Barat bisa diterima jika memang tidak bertentangan dan sesuai dengan sumber ajaran Islam, yaitu Al Qur’an dan Hadits.
Demikian sekedar ulasan saya tentang jual-beli saham di pasar sekunder. Pendapat saya bisa benar atau salah, tapi insya Allah Al Qur’an tidak mungkin salah serta Rasul Allah tentu lebih benar ketimbang kita semua. Ada yang berpendapat jual-beli saham itu halal (mohon diberikan dalil Al Qur’an dan Hadits-nya), ada yang bilang syubhat, ada pula yang tegas menyatakan haram.
Dari Nu’man bin Basyir ra diberitakan bahwa Nabi bersabda: “Sebenarnya yang halal itu jelas dan yang haram jelas pula. Di antara yang halal dan haram itu ada yang syubhat (tidak jelas), banyak orang tak mengetahuinya. Siapa yang menghindar dari syubhat, dia telah memelihara agama dan kehormatannya. Siapa yang terkena syubhat, maka dia terkena yang haram…” (HR Muslim)
Dari hadits di atas serta kesimpang-siuran status jual-beli saham di pasar sekunder, jelaslah bahwa jual-beli saham itu jika tidak haram, dia adalah syubhat, karena itulah orang berbeda pendapat. Meninggalkan hal syubhat itu lebih utama ketimbang mengerjakannya, apalagi jika bahayanya lebih besar dari manfaatnya.
Kesimpulan
1.Jika penjualan saham dilakukan oleh pengusaha/emiten kepada masyarakat tanpa ada tipuan/manipulasi yang merugikan pihak lain pada saat IPO (penjualan saham perdana) maka halal.
2.Jika jual-beli saham dilakukan sesama investor/spekulan saham dengan harapan mendapat keuntungan dengan menjual saham tersebut ketika harganya naik, maka ini spekulasi. Tak jauh beda dengan judi yang jelas diharamkan.
Referensi:
Al Qur’an
Shahih Bukhari
Shahih Muslim
Diskusi di milis ekonomi-syariah
Berikut beberapa penipuan di Bursa Saham.  Skandal Kebangkrutan Enron perusahaan dengan revenue US$ 101 milyar (Rp 900 trilyun) membuat Perusahaan Akuntan Publik Arthur Andersen tutup karena membuat laporan keuangan palsu seolah-olah ENRON untung. Pemegang sahamnya rugi sampai US$ 74 milyar atau Rp 630 trilyun!
Sementara mantan pimpinan Bursa Saham NASDAQ, Bernard Madoff, menipu nasabahnya hingga US$ 50 milyar dengan cara membayar nasabah lama dengan uang nasabah baru. Gali lobang tutup Lobang.
Lehman Brothers bahkan bangkrut dengan meninggalkan hutang US$ 613 milyar atau sekitar Rp 5.400 trilyun lebih! 5 kali lipat dari APBN Indonesia!
Di Indonesia pun ada kasus Sarijaya Sekuritas yang pemilik dan Direkturnya dituduh menggelapkan uang nasabah hingga Rp 245 milyar.
Itulah akibat spekulasi di dunia saham dan sektor keuangan.
Silahkan lihat berbagai artikel tentang penipuan di Bursa Saham dari berbagai media:
http://infoindonesia.wordpress.com/2010/09/23/skandal-penipuan-di-bursa-saham-enron-sarijaya-rina-dsb/
http://alhikmah.ac.id/2011/tidak-boleh-menimbun-barang/

Mendukung Fatwa Haram Merokok MUI

Ini sumbernya, terima kasih kepada bapak Agus Nizami: http://agusnizami.wordpress.com/2008/08/14/mendukung-fatwa-haram-merokok-mui/

Perhatikan data sebagai berikut:
  • Angka kematian akibat rokok di Indonesia mencapai 427.923 jiwa/tahun
  • Berdasarkan hasil penelitian KPAI perokok aktif di Indonesia sekitar 141,4 juta orang
  • Dari 70 juta anak di Indonesia, 37 persen atau 25,9 juta anak diantaranya merokok.
  • Sekitar 43 juta anak usia hingga 18 tahun terancam penyakit mematikan
  • Tahun 2006 konsumsi rokok di Indonesia 230 milyar batang atau sekitar Rp 184 trilyun/tahun

  • Untuk kepala keluarga dengan penghasilan Rp 1 juta/bulan dan pengeluaran rokok Rp 240 ribu/bulan, maka pengeluaran rokok mencapai 24% padahal banyak anak kekurangan gizi dan putus sekolah. Belum biaya pengobatan yang besarnya sekitar 2,5 kali dari biaya rokok yang dikeluarkan. Artinya jika pengeluaran untuk rokok besarnya Rp 184 Trilyun/tahun, biaya untuk pengobatan karena merokok sekitar Rp 460 Trilyun/tahun. Satu pemborosan yang disebut Allah sebagai saudara setan (Al Israa’:26-27)
  • Di bungkus rokok disebut bahwa merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, gangguan kesehatan janin, dan impotensi. Asap rokok mengandung ribuan bahan kimia beracun dan bahan-bahan yang dapat menimbulkan kanker (karsinogen). Bahkan bahan berbahaya dan racun dalam rokok tidak hanya mengakibatkan gangguan kesehatan pada orang yang merokok, namun juga kepada orang-orang di sekitarnya yang tidak merokok yang sebagian besar adalah bayi, anak-anak dan ibu-ibu yang terpaksa menjadi perokok pasif oleh karena ayah atau suami mereka merokok di rumah. Padahal perokok pasif mempunyai risiko lebih tinggi untuk menderita kanker paru-paru dan penyakit jantung ishkemia. Sedangkan pada janin, bayi dan anak-anak mempunyai risiko yang lebih besar untuk menderita kejadian berat badan lahir rendah, bronchitis dan pneumonia, infeksi rongga telinga dan asthma.
Dari data di atas merokok merusak kesehatan (diri sendiri dan orang lain) dan pemborosan sehingga anak jadi kurang gizi dan putus sekolah oleh karena itu MUI harus mengeluarkan Fatwa Haram Merokok. Apalagi ulama di Saudi, Malaysia, dan Iran sudah mengharamkannya.

Comparison On How Life Has Gone Expensive For All Of Us Around The World

This is the source, thank you to the provider of the interview: http://www.videojug.com/interview/why-is-everything-so-expensive

Why Is Everything So Expensive?

Jordan Goodman (Personal Finance Author) gives expert video advice on: Why is life so expensive?; Why are things so expensive?; How much is the cost of living expected to go up in the coming years? and more...

Why is life so expensive?

Life is so expensive because people's tastes are more than their income. Our entire culture is based around consumption. You don't see a lot of ads for saving or investing on TV. It's all about spending, and people are very good at marketing things and making you want to buy stuff whether you want to or not. There is a difference between wants and needs, and a lot of people buy based on their wants instead of their needs. Particularly around the holiday times, they get wrapped up with the music and smells and everything going on in the malls and they end up spending more than they can afford and making up the different with debt in many cases. So that's why people are spending more. They are wrapped up in the culture of consumption. They want to have it now. It is also a culture of instant gratification. In the old days, our parents might have actually saved up for something before they actually bought it. Today we buy it first and figure out how to pay for it later. That gets people in a lot of trouble.

Why are things so expensive?

One of the reasons things are so expensive is there is more demand for commodities around the world these days. China has been growing extremely fast, over 10%. India growing very fast. They are developing a huge middle class which demands more commodities. So the prices of aluminium, copper and gold and coal and all the things that go into creating an economy are going up. And that's something that we, in the United States, are also feeling as well. Other areas that are going up. Healthcare is going dramatically. The baby boom is retiring and uses more and more healthcare so that's a big expense. Oil is going up dramatically. There is less supply. The old oil fields are burning out. There is more demand so oil is going up, as are gas prices that go along with it. So, in general, the big demand for commodities from the developing world is causing the prices of what we buy everyday to to go up.

How much is the cost of living expected to go up in the coming years?

Well, the cost of living is expected to go up typically 2 or 3 percent is what the official numbers say, that's where inflation has been. But I think if you actually look at what people are spending; it's actually much more than that. I like to say that there's a personal consumer price index that people might have. If you're older and everything's established, you're not buying that much, you might have a very low consumer price index. If you're in your twenties and thirties, and you're buying everything for the first time, you have children, and so on; you're going to have a much higher consumer price index. So I think the reality is with higher energy costs, higher health care costs, and cost of college education going up, that in fact, your cost of living is going to be going up five to ten percent in many cases. For most people who are in their younger years, well, they're still building and buying things.

My family works two jobs each and we still can't afford anything,why?

A lot of people are in this situation, where the husband and wife are working, and they still feel they can't afford anything. The reason is, in many cases, if they actually sit down with a budget - the expenses they have are higher than the income they are bringing in. In many cases their expenses are going up because their gas costs are going up, their healthcare may be going up, cost of college education may be going up, but their incomes are not going up along with it. In many cases people are making up the difference between their expenses and their income with debt. So, debt then adds to the burden and makes it difficult for people to afford things - because they're having to make the debt service payments all the time. Lately, a big problem has been mortgages. People got mortgages a few years ago that were below market - two and three and four percent, that would adjust up to the market rate in two or three years. And that is now arriving - and so a lot of people are having their mortgages go up dramatically - double, triple, in many cases. And if they either can't afford that, or it's very difficult to afford it, means all the other things they need to spend money on, become much more difficult. So, that's why a lot of Americans are over their head in debt, right now, trying to keep up with the higher cost of living.

Where does all my hard earned money go?

If you actually look at your budget, a lot of your hard-earned money goes to automatic things the same every month. You have either rent or mortgage payment, you have a certain amount of energy costs, a certain amount of food costs. There are certain things you have to pay for every month, and a lot of people don't have much leftover after they've paid for their basic necessities each month. The solution for this is to set up automatic savings programs, so in addition to all these automatic costs you have every month, one of the automatic costs should be a savings program, so that your money is growing for yourself, typically in a stock or bond mutual fund, as opposed to a savings account where it's earning 1% or less. So the solution to spending more than you're taking in is to have some of your spending going to something that's building a rainy day fund for the future.

Why are houses so expensive?

Houses are expensive because the cost of materials going into them has gone up a lot. Lumber and copper for all the plumbing and electrical - all the components of houses have gone up a lot. But also there's been a speculative binge in houses in the last few years. That's certainly cooled in the last year or so, but in many cases, people are getting into houses as a way to invest, as a way to flip and to make money by buying and selling the house itself. So that's made the house price go up a lot. With interest rates having gone up, it means the cost of houses is a lot higher. And also property taxes. To support local communities, lots of property taxes have been going up as well. So the cost of housing is not just the house itself, but it's the mortgage, it's the property taxes, it's the utilities, it's the upkeep. And that has risen to very, very high levels making many houses unaffordable for people. I heard a recent statistic that at current prices in California, only 16% of people in California could afford the home they are living in today. That is, they bought this home years ago but because the price of utilities, property taxes and other things have gone up, many many people could not afford the house they live in today. And that's making it more difficult, particularly for the first-time homebuyer to get started buying into homes.

Why does food cost so much?

Food cost so much because there's a lot that goes into it that's not just the food itself. There's fertilizer and all the things the farmer has to put into the machines that they buy. Transportation is a very big part of food, getting it from the farm to the grocery store cost a lot and with oil and gas prices higher that's a major part of the cost of food these days. In addition a lot of people want organic food and that cost more to grow and uses less pesticides and so that in effect cost more as well. So food is a major part of people's expenses and it's been rising pretty sharply because of the cost of creating the food. One dramatic example is corn, corn prices have gone up a lot because corn is being used for ethanol and not just for human consumption. What that means if there's a lot more demand for it, from ethanol than in fact the price goes up and that spreads throughout our entire economy, corn is used in lots of other products, so something like that makes the price of corn go up which than makes other commodities go up because if farmers plant a lot of corn than they're going to be planting less wheat and cotton and other kinds of things so there's less of those. So that in general is why food is going up. Another factor is a demand around the world, China and India and Indonesia and other places are taking a lot of our grains and a lot of our food as well so we're supplying them around the world and we're just not able to keep up. So food is high and it's going to keep going higher.

Do most Americans live beyond their means?

Most Americans do live beyond their means. On a national basis, America has a negative savings rate. Means we actually spend more than we save. Now some people save a lot but a lot of people are in huge amounts of debt. There is over 900 billion dollars in credit card debt alone, in this country. Something like 3 trillion dollars in other combined debt, non-mortgage debt, things like car loans, student loans, medical debt and so on. And then another roughly 10 trillion dollars in mortgage debt on top of that. So people spend what they don't have, make up the difference with debt. In general, debt has been easy to get into. Banks have loads of money and they want to lend it out. So it makes it very tempting for people. So a lot of people do live beyond their means.

Which American cities have the highest cost of living?

In general the large cities have the highest cost of living. That would be New York, San Francisco, Honolulu is very expensive, Chicago. You have higher real estate taxes. There's just much more density and therefore more wealth and therefore people can afford real estate. The taxes tend to be higher, the cost of services tend to be higher. I mean if you're in New York and you have to park, its $25 an hour. In some small cities it might be $5 or less. So in general, the bigger cities are going to be where the higher cost of living is.

Shouldn't personal income adjust to meet the demand of the market?

One of the big problems with people's budgets is that expenses are going up faster than their incomes. You might say, "Why is that?" Well incomes are not going up as much because we are competing with the world on the labor front. In the past, if we just had domestic employees, you had more bargaining power. But now if you are a computer engineer or an architect, you're not only competing with other people in the United States, but you're competing with people who are just as good in India, or China, or Indonesia, or other places, who are just as qualified and will work for a tenth of the price of what you will. So that makes it hard to compete on the wage front, when the same labor is available overseas at much, much lower cost. And that's why you're seeing a lot of American companies moving factories and all kinds of facilities to China, to India, to other places where they can get much, much lower labor costs and still very high quality labor.

Would my family be better off moving to a small town?

There are pros and cons of being in a small town versus a medium size town or a big town. The advantage of a small town is certainly that your cost of living is going to be lower. You are going to be in an area where all the stores are right there. Your taxes are going to be lower. In general, there are going to be fewer services. The disadvantage is you are going to have fewer employment opportunities. If you have a smaller town it just has fewer employers to go to. If you have some kind of job or a profession that can be done online or on the phone, maybe it is not important if there are local employers there. If you are a day trader who is getting a lot of stocks, it doesn't matter where you are. But in general, medium and bigger size towns are going to have more services, better schools, more kinds of shops that you can shop in and a more diverse population. But you have to pay for that in the form of higher property taxes and in general, a higher cost of living.

We're expecting our first child, how much is that going to cost?

If your expecting your first child, its typically going to cost from birth to the age of 18 something like $300,000. Now, you don't have to pay that all at once. It starts off with baby food and diapers and becomes bicycles, and by the time they are 18 they have got to get their Ferrari and maserti, I guess. But it does add up over time. A lot of people do not think of the financial consequences of having a child. And this is not even counting college. At which today for private schools is well over $40,000 and some schools are over $50,000. And public schools are even $20,000 or so. So that adds to the cost of having children dramatically. And having two of them doesn't save that you that much money either. You can have a few hand me downs, but they all eat the same thing and child number one cant share food with child number two. So this is not a case where counting a scale makes much difference on saving you money.

How much of my expenses should I cut to see a difference?

There are a lot of ways you can cut your expenses to see a major difference in your budget. In food, you can go to wholesale clubs and buy generic foods instead of brand names. In health care, you can use something called medical repricing which we can find out about at medicalrepricing.com where instead of paying hundreds of dollars in premiums, you get your health care costs cut by 50% or more. In gasoline, you could shop around for the best service station with the lowest price. There's a website, gasbuddy.com, for example, that's constantly being updated that will tell you what's the best prices for gasoline. In mortgages, you might want to get a mortgage where the rate only goes down and not up. That's what's called an automatic rate cut mortgage or arc loan which you can find out about at arcloan.com. So there's definitely some ways you can cut your expenses. First, what you have to do is see where you're spending it and then see what are the alternative ways to cut it and then do that in a consistent basis across all your spending.

Thursday 23 February 2012

Why Preaching? Part 1

  I've been preaching on non self limitating and self limitation, since it has been proven to be beneficial universally, again, without limitation. One famous Indonesian motivation speaker once mentioned that if everything in our life is the same, then we will not improve ourselves, since we'll learn nothing new. We have nothing to compare, i'd like to add. When we find things, including people, to be different, than it's not a reason not to study (or to cower away as many westerner and their impostors do) Instead, it's exactly the reason to study.

  Then, how we'd be able to extract lesson from those differences? By looking at the similarities that tie them in, that is embedded in all of them! Just because something is abstract, doesn't necessarily mean that it doesn't exist. Take electricity for example. Can we really always see or touch electrical current? You get to be electrified first then to admit its existence?

  If we human don't study continuously, openly, and dare themselves to accept anything new (not necessarily agree with it though), however despicable it might be, we'd still be in caves by now.

  When we base our judgements only on personal knowledge and personal wish, instead of the one great universal truth (this isn't abstract either), we'll never reach peace, unity, and harmony, since human knowledge is limited and there are billions of human being here. Each with their own personal believe.

  So, it is not about the right to think, but about what is really right. Please differ what is truly right with thinking oneself as being right.

  At best, we'll attain peace by not adhering to the one real truth, peace between human, rarely with nature (to our own disaster). Like the Palestinians and israelis. Smiling in front, knives behind. What separate it from hypocrisy. Not to mention it will never endure, such "peace". Just postponing underlying conflicts. Unless we enjoy conflicts? I experienced the 1996-1998 riots in Jakarta and its surrounding, and it wasn't fun.

  To study is to step out of long held comfort (If it is comfortable at all. Be honest to yourselves).

  Well, thanks for being around. May Allah shines His light on us all.

So What With Burning The Qur'an?

   Since several months ago, just like the muslims like to burn atributes related to u.s.a, such as the star spangled banner, u.s presidents dolls, etc, qur'an burning has also been incited by the non-muslims.

   Sure, it enraged many muslims. The qur'an is muslims's main source of way of thinking, guide to right conduct, many laws...in short, God's personal guide book for them.

  Funnily, many "non-observing" muslims were also enraged by the burning acts.

Why?

  Apart from having "Islam" printed in some muslims' id cards (incl. passport etc), have we really treated qur'an as it should be? Many muslims put qur'an in some notch, cavity, whatever they can find above their houses' doors, in order to repel the devil and evil spirits. Asked why, they simply stated "they/many people told/did so". Many muslims still deliberately and consciously conduct adultery, fornication, corruption, burglaries, money scam, and so on. Just exactly the same things forbidden in the qur'an, that committing them is taken as blasphemy towards God.

  So why should many muslims be angry when some savages from so called modern industrial countries burn the qur'an...It is just a big insult done in one big (sometimes explicit) step. While the muslims themselves are regularly committing things deemed sinful in the qur'an, thus insulting the qur'an itself, by saying by deeds, not by words nor by fire, that it is not a holy refered book, since its contents is not observed and practiced anyway. Even practicing things contradictory to it.