Monday 30 March 2009

Menempa Besi Selagi Panas

Terima kasih untuk ibu Sitaresmi S. Sukanto. Bahasa Indonesia yang digunakan untuk tulisan asli saya edit.

Bila melihat saya membawa tiga anak kecil berusia 10, 7, dan 5 tahun dalam aksi damai untuk solidaritas bagi Palestina, mungkin kak Seto yang dikenal sebagai pecinta anak akan berkomentar " Tega sekali membawa anak long march berkilo-kilo selama 4 jam. Itu namanya eksploitasi anak. Wah, apalagi melihat ibu-ibu lain yang menggendong bayi-bayi mungil itu dalam barisan panjang melintasi bunderan HI, melewati kantor PBB, dan akhirnya mendengar pidato-pidato di depan kedubes AS di jalan Merdeka selatan. Bisa-bisa ada anggapan bahwa para orang tua yang merupakan para kader dakwah sering melakukan child abuse, terutama bila muslim berdemo. Benarkah?

Kita tak meragukan kak Seto sebagai tokoh pecinta anak. Ia memiliki lembaga pendidikan anak-anak pra-sekolah, selalu berada di sekitar anak, memperdulikan dan mencintai anak-anak Indonesia. namun tanpa mengurangi penghargaan kita pada kak Seto, kita menegaskan bahwa ini adalah masalah perbedaan paradigma. Yakni bagaimana pandangan kita tentang mencintai seorang anak. Juga perbedaan konsep tarbiyatul aulad (pendidikan anak). Anak -anak kita adalah anak-anak Palestina yang berjuang untuk kehidupannya tanpa dunia perlu merasa untuk mengasihani mereka. Anak-anak kita adalah anak-anak Afghanistan dan Irak, yang negerinya dibumihanguskan oleh kekejaman tentara AS. Anak-anak kita bukan anak-anak yang dimanjakan dengan boneka Barbie dan segala simbol kemewahan sehingga tumbuh menjadi manusia yang brillian tapi tidak dewasa, kaya harta tapi egois.

Salahkah jika orang tua muslim mendidik anak-anak mereka untuk menjadi anak-anak pemberani yang tangguh dan tahan banting? Mereka harus bertahan hidup dengan ikhtiar/usahanya sendiri. Bisakah para pecinta anak membayangkan trauma fisik dan psikis yang dialami seorang anak Palestina yang menyaksikan di depan matanya sendiri, bagaimana tentara yahudi memperkosa ibunya yang hamil secara bergiliran hingga keguguran, baru setelah itu membunuh ayahnya? Semua sudah di luar batas nalar dan kemanusiaan.

Dalam tragedi Bosnia Herzegovina di awal dekade 90-an, seorang anak Bosnia ditanya wartawan, mengapa ia bermain perang-perangan di tempat terbuka, dan bukannya bersembunyi di bunker-bunker. Mereka menjawab bahwa di setiap peluru sudah tertera nama nyawa yang harus diambilnya. "Biarpun kami bersembunyi, jika sudah takdirnya mati ya pasti mati. Dan walau kami di luar, tapi bila takdirnya belum mati ya tak kan mati" Jawaban anak-anak yang jujur, jernih, dan polos tersebut mencerminkan tebalnya aqidah mereka pada Allah swt.

Rasulullah saw sudah mengatakan dalam satu hadis beliau, bahwa ummat islam akan menjadi bulan-bulanan musuh islam, sehingga anak-anak muslim memang harus dididik menjadi pejuang-pejuang tangguh., yang tidak mengidap penyakit wahn, yaitu cinta dunia dan takut mati.

Fatimah Heem Sarka, seorang muslimah Jerman, menjelaskan bahwa tahap pendidikan yang perlu diberikan kepada anak-anak muslim adalah sebagai berikut:
  1. Penanaman aqidah
  2. Pembiasaan beribadah
  3. Pengokohan akhlak
  4. Penumbuhan ruhul jihad
Ruhul (jiwa) jihad (perang dan perjuangan) membela islam dalam diri anak sejak dini. Anak-anak adalah anak-anak berlimpah energi yang tak tahu perlu melawan siapa, tak sadar "who their real enemies are".

Di masjid Nabawi, Madinah, dan masjidil Haram, saya melihat bayi-bayi yang menemani ibunya shalat dengan tangisan. Namun mereka sadar itu adalah pengenalan dan pembiasaan sejak dini agar anak cinta ibadah dan masjid. Ada juga yang menggendong bayinya yang masih merah di punggung dan diajak tha'waf mengelilingi ka'bah di bawah terik matahari. Namun subhanallah, bayi itu tertidur dengan pulas dan ni'mat. Di sudut lain terlihat pula seorang kakek tengah mengajari cucunya yang berusia sekitar tiga tahun untuk rukuk dengan benar ketika shalat, sambil menuntun bacaan shalatnya.

Bagaimana pula dengan nabi Ibrahim as. yang dituntun Allah swt mendidik anaknya, Ismail as., tidak dengan memanjakan seperti yang kita pahami sebagai bentuk mencintai anak selama ini? Beliau meninggalkan bayi Ismail as. dan ibunya siti Hajar di tengah gersangnya tanah tandus Hijaz. Tak ada tanda-tanda air atau kehidupan lain di sana. Namun tsiqah billah menuntun siti Hajar dan nabi Ibrahim as. untuk tetap tegar melaksanakan perintah Allah swt. yang sekilas tidak masuk akal dan kejam, tega pada anak dan istri. Belum lagi perintah berikutnya, untuk menyembelih Ismail as. Mungkin para pecinta anak tak akan bisa lagi berkomentar apa-apa. Apakah nabi Ibrahim as. tidak mencintai anaknya? Sangat, sangat, karena setelah sekian lamanya ia menanti. Tapi perintah Allah swt lebih ia utamakan...dan bahagialah pada kesudahannya.

Jadi apalah arti melatih anak untuk ber-jihad, ber-long march sambil berteriak amerika dan israel teroris, dibanding anak-anak Palestina yang sudah memegang batu berhadapan langsung dengan yahudi? Adakah bentuk cinta pada anak yang lebih baik dibanding menanamkan ruhul jihad padanya? Bukankah besi perlu segera ditempa dan dibentuk selagi panas?