Thursday 25 July 2013


One song can spark a moment,

One flower can wake the dream
One tree can start a forest,
One bird can herald spring.


One smile begins a friendship,
One handclasp lifts a soul.
One star can guide a ship at sea,
One word can frame the goal


One vote can change a nation,
One sunbeam lights a room
One candle wipes out darkness,
One laugh will conquer gloom.


One step must start each journey.
One word must start each prayer.
One hope will raise our spirits,
One touch can show you care.


One voice can speak with wisdom,
One heart can know what’s true,


One life can make a difference,
You see, it’s up to you!

Monday 8 July 2013

Ironi dalam Pelaksanaan Sumpah Pemuda

Ironi dalam Pelaksanaan Sumpah Pemuda


29 October 2011 | 06:30

Daniel H.t.

Umur Sumpah Pemuda saat ini sudah 83 tahun, tetapi kenapa sampai hari ini tiga isi pokok dari deklarasi bersama para pemuda dari seluruh Indonesia di tanggal 28 Oktober 1928 itu sampai hari ini masih juga belum terwujud sepenuhnya?

Salah satunya adalah soal berbahasa Indonesia. Sampai hari ini masih banyak orang Indonesia, warganegara Indonesia yang belum bisa menggunakan bahasanya sendiri secara baik dan benar.

Penyebab pokoknya antara lain adalah masih banyak dari kita yang belum bisa menghargai bahasa Indonesia, salah satu milik paling berharga bangsa sendiri. Bagaimana bisa menghargai kalau banyak di antara kita yang masih merasa lebih bergengsi menggunakan bahasa asing, terutama sekali bahasa Inggris daripada bahasa Indonesia.

Padahal bahasa/istilah tersebut ada bahasa Indonesia-nya. Tetapi, karena merasa malu, turun gengsinya, kalau menggunakan bahasa Indonesia, maka digunakanlah bahasa Inggris, atau bahasa asing lainnya. Padahal yang bersangkutan sendiri belum tentu bisa berbahasa Inggris. Tak jarang penglafalannya pun salah. Kedengarannya lucu. Tetapi dia tetap nekad menggunakan bahasa Inggris/asing tersebut. Dia pikir daripada dianggap kurang gaul kalau pakai bahasa Indonesia, maka pokoknya pakai bahasa Inggris sekalipun ngawur penglafalannya.

Maka tak jarang untuk menyebutkan “makan pagi”, “makan siang”, “makan malam”. “janji”, “kesulitan”, “sedang bicara (dalam percakapan telepon)”, dan seterusnya, yang kita sering sekali dengar adalah “breakfast”, “lunch”, “dinner”, “appointment”, “trouble”, “sedang online”, dan masih banyak lagi.

Di tempat-tempat umum seperti mall yang pengunjungnya nyaris 100 persen orang Indonesia sendiri, banyak yang masih lebih suka menempelkan berbagai informasi umum dalam bahasa Inggris.

Sampai-sampaibeberapa saudara saya dari luar negeri sempat terheran-heran menyaksikan fenomena ini. Mereka lebih heran lagi karena ternyata mayoritas orang Indonesia tidak bisa berbahasa Inggris.

Karena sikap tidak menghargai bahasa sendiri inilah yang membuat sampai hari ini masih terdapat banyak kesalahan (salah kaprah) dalam berbahasa Indonesia dengan baik dan benar.

Seperti di tempat-tempat parkir yang biasa kita lihat ada pengumuman: “Bebas Parkir”. Makna sebenarnya dari pemberitahuan tersebut adalah tidak boleh parkir. Bahwa daerah tersebut harus bebas dari kendaraan yang parkir. Sama dengan “Bebas Becak”, yang berarti daerah tersebut harus bebas dari becak. Tidak boleh ada becak di sana. Atau “Bebas Rokok”, artinya tidak boleh merokok.

Padahal maksud pembuat pengumuman “Bebas Parkir” itu adalah boleh parkir di lokasi tersebut dengan cuma-cuma alias gratis.

Salah kaprah tersebut akibat dari kesalahan menerjemahkan bahasa Inggris: “Free Parking”. Kata “free” diterjemahkan secara harafiah dengan kata “bebas”.
*
Sikap kurang menghargai bahasa Indonesia, bukan hanya datang dari masyarakat umum. Tetapi ironisnya justru lebih menonjol datang dari pejabat publik. Termasuk dari para pejabat tinggi negara kita. Yang seharusnya menjadi panutan, malah memberi contoh yang buruk bagi rakyatnya dalam menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan benar.
Dalam setiap pidato mereka banyak diselip istilah-istilah dalam bahasa Inggris. Tidak perduli penggunaannya dan penglafalannya sudah benar ataukah tidak. Tidak perduli apakah yang mendengarnya mengerti ataukah tidak. Bahkan tidak perduli, dia sendiri sebenarnya juga tidak mengerti.

Orang nomor satu di Republik Indonesia saat ini. Yakni, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono, sudah lama dikenal suka menggunakan bahasa Inggris dalam pidato-pidatonya. Padahal istilah-istilah dalam bahasa Inggris itu ada bahasa Indonesia-nya.

Khusus tentang cara Presiden SBY berpidato dalam bahasa gado-gado (bahasa Indonesia campur bahasa Inggris) itu saya pernah menulisnya dalam sebuah tulisan saya yang berjudul: SBY Pidato, Wartawan Tertawa, yang dapat Anda baca kembali dengan mengklik judul tersebut.
*
Beberapa tahun lalu di Surabaya, pemerintah setempat pernah melakukan gerakan berbahasa Indonesia secara baik dan benar. Semua penggunaaan bahasa Indonesia yang dianggap menyalahi kaidah bahasa Indonesia baku di ruang publik ditertibkan.

Tetapi apa yang terjadi dalam pelaksanaanya itu?

Malah tambah kacau. Kenapa? Karena yang menertibkan adalah orang-orang pemerintahkota dan Satpol PP yang justru mereka sendiri tidak paham benar apa itu berbahasa Indonesia secara baik dan benar.

Selain itu cara penertibannya pun terkesan sangat konyol.

Betapa tidak, beberapa nama toko, perusahaan, dan restoran, serta tulisan-tulisan lainnya di berbagai media luar ruang, seperti papan nama, dan baliho, yang mereka anggap telah menggunakan bahasa asing, ditertibkan dengan cara mencoret dengan cat Pylox kata-kata tersebut. Hasilnya ketika itu, banyak pemandangan di Surabaya dihiasi dengan tulisan-tulisan yang dicoret-coret dengan cat Pylox! Mirip coretan-coretan grafitti liar yang biasa dilakukan orang-orang muda iseng di tembok-tembok kota. Tentu saja pemandangan kota menjadi kelihatan kotor.

Selain itu dalam penertiban tersebut, para penertib juga tidak bisa membedakan mana yang bahasa/istilah asing secara umum yang memang seharusnya tidak dipakai karena ada bahasa Indonesianya, dengan mana yang berupa nama sebuah usaha, yang meskipun dalam bahasa Inggris, tidak boleh diganti begitu saja ke dalam bahasa Indonesia. Karena nama-nama usaha tersebut telah terdaftar secara hukum.

Dengan mengubah nama usaha itu dalam bahasa Indonesia, tentu saja impilkasinya akan sangat luas. Misalnya, dalam pembuatan kontrak bisnis, menyangkut identitas perusahaan itu, dan sejenisnya.

Misalnya, nama Restoran “Tri-Star”, PT “Darmo Satelit Town”, tidak bisa begitu saja diganti ke dalam bahasa Indonesia menjadi Restoran “Tiga Bintang”, dan PT “Kota Satelit Darmo”. Karena secara hukum identitasnya akan menjadi tidak sama dengan akta pendirian, SIUP, NPWP dan sejensinya.
*
Dalam rangka memperingati hari Sumpah Pemuda ke-83, pemerintah kota Surabaya baru-baru ini, tepatnya tanggal 28 Oktober 2011, melakukannya dengan memasang sebuah baliho raksasa di depan Gedung Grahadi, Jalan Gubernur Suryo, Surabaya.

Isi baliho tersebut adalah kutipan dari isi Sumpah Pemuda yang dideklarasikan pada 28 Oktober 1928 itu. Tetapi sayangnya, ternyata kutipan itu keliru.

Kutipan pada baliho tersebut sebagai berikut:
Kami Putra dan Putri Indonesia, mengaku bertanah air satu, tanah air Indonesia
Kami Putra dan Putri Indonesia, mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia
Kami Putra dan Putri Indonesia, mengaku berbahasa satu, bahasa Indonesia

Padahal teks asli Sumpah Pemuda tidak begitu bunyinya. Teks asli Sumpah Pemuda tersebut bunyinya adalah sebagai berikut (disesuaikan dengan Ejaan Yang Disempurnakan):
Kami Putra dan Putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia
Kami Putra dan Putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.
Kami Putra dan Putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.

Baliho raksasa dengan biaya pembuatan yang tentu saja tidak sedikit itu hanya bertahan beberapa jam. Setelah mendapat kritikan dari beberapa warga kota Surabaya, baliho itu diturunkan kembali oleh pemerintah kota Surabaya.

Kejadian ini kembali menunjukkan bagaimana pemahaman dan penghargaan pejabat negara kita sendiri terhadap makna dari Sumpah Pemuda itu. Padahal mereka seharusnya menjadi panutan bagi masyarakat umum.

Maka tidak heran setelah 83 tahun, isi Sumpah Pemuda itu pun belum bisa benar-benar direalisasikan.

Apakah harus tunggu menjadi genap 100 tahun? ***