In sumbernya, terima kasih kepada penyedianya: http://media-islam.or.id/2007/11/26/mengapa-jual-beli-saham-itu-haram/
Sesungguhnya
Pasar Modal itu halal jika bertujuan untuk mempertemukan antara
pengusaha yang memerlukan modal dengan investor yang kelebihan uang,
sehingga sektor real bisa bangkit. Dengan cara ini, maka produksi, baik
barang maupun jasa bisa meningkat untukk memenuhi kebutuhan masyarakat,
serta membuka lapangan kerja bagi banyak orang. Hal seperti itu halal,
dengan catatan tidak ada gharar (penipuan) atau riba yang mengurangi hak
dan merugikan investor.
Setelah
itu, perusahaan berjalan dengan suntikan modal investor. Sesungguhnya
kerjasama seperti ini (Mudlorobah atau Musyarokah) yang kalau di zaman
modern mungkin disebut dengan join venture sudah dikenal dan dihalalkan
dalam Islam selama tidak ada tipu-menipu.
Dalam hadis Qudsi, Allah mengatakan:
“Saya
adalah ketiga dari dua orang yang bersyarikat itu, selama salah satu
pihak tidak mengkhianati kawannya; jika salah satu mengkhianati
kawannya, maka saya akan keluar dari antara mereka berdua itu.” (Riwayat
Abu Daud dan Hakim dan ia sahkannya)
Ibnu Razin dalam kitab Jami’nya menambahkan: (dan akan datang syaitan).
“Dan tolong-menolonglah kamu atas kebaikan dan tagwa.” (al-Maidah: 3)
Sebagian
ummat Islam menganggap bahwa jual-beli saham di Bursa Saham (Stock
Market) adalah halal, sementara sebagian lainnya menganggap haram karena
termasuk spekulasi atau judi.
Manakah
yang benar? Sebagai ummat Islam, jika ada perbedaan seperti itu,
hendaklah kita kembali berpegang pada Al Qur’an dan Hadits
“Hai
orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya),
dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan
Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.” [An Nisaa:59]
Kita
memang tidak bisa mengklaim sebagai yang paling benar, tapi
sesungguhnya Al Qur’an itu tidak ada keraguan bagi orang yang takwa
serta mentaati Nabi itu adalah perintah dari Al Qur’an. Al Qur’an
dikenal juga sebagai Al Furqon, yang membedakan mana yang haq dengan
yang bathil. Untuk itu, kita harus berpedoman pada Al Qur’an dan Hadits,
bukan cuma berdasarkan pendapat kita sendiri.
Ada
yang berpendapat bahwa jual-beli saham halal dengan alasan sama dengan
jual-beli barang lainnya seperti buah atau beras. Hal ini kurang tepat.
Saham
itu baik barang maupun nilainya tidak jelas, sehingga membeli atau
menjualnya adalah tindakan yang spekulatif. Jangankan saham, buah saja
meskipun halal, tapi jika kondisinya belum jelas dilarang
diperjual-belikan:
Menurut jabir; “Rasulullah s.a.w. melarang penjualan buah-buahan sebelum ia masak.” (Hadis riwayat Bukhari).
Anas
juga menyatakan, “Rasulullah s.a.w. melarang Munabazah yaitu menjual
pakaian dengan melemparkan kepada pelanggan sebelum dia mempunyai masa
untuk meneliti atau melihatnya; Beliau juga melarang Mulamasah, menjual
pakaian dengan hanyamenyentuhnya sebelum pembeli sempat melihatnya;
Beliau juga melarang Muhaqilah yang berupa amalan menjual jagung yang
masih melekat pada empulurnya untuk ditukarkan dengan jagung bersih;
malah beliau melarang Mukhadarah yang berupa jualan benda-benda yang
hijauatau belum masak; dan Beliau juga melarang Muzabanah yang berupa
penjualan kurma yang segar (sudah diproses) dan penjualan buah-buahan
yang belum masak yang masih di atas pokok.” (Hadisriwayat Bukhari)
“Dari
Jabir bin Abdullah ra katanya: Rasulullah SAW melarang kontrak jual
beli hasil buah kebun untuk beberapa tahun lamanya” (HR Muslim).
Kenapa
Nabi melarang hal itu? Karena itu itu tindakan spekulatif, walau pun
buah itu halal. Jika buah-buahannya masak, pembeli untung, tapi jika
tidak masak atau busuk, maka pembeli rugi. Begitu pula dengan saham.
Nabi
melarang jual-beli tanpa si penjual memberi kesempatan bagi si pembeli
untuk meneliti barang yang dibelinya, misalnya hanya memegang tanpa
melihat, atau langsung dilempar begitu saja. Boleh dikata, hampir semua
pembeli di bursa saham membeli saham tanpa pernah pergi ke perusahaannya
dan melihat assetnya apakah benar sesuai dengan laporan keuangan atau
tidak.
Ada
yang berpendapat jual-beli saham halal karena dalam hal muamalah
sesuatu itu halal kecuali ada dalil yang melarangnya. Dalam hadits Nabi,
kita mengetahui bahwa berserikat membentuk perusahaan antara pengusaha
dan investor itu sudah ada di zaman Nabi dan dibolehkan. Pada zaman
Nabi, tidak ada investor yang memperjual-belikan sahamnya, oleh karena
itu tidak ada “larangan” untuk jual-beli saham. Tapi adakah itu berarti
jual-beli saham halal?
Sesungguhnya
kita tidak akan menemui larangan memakai narkoba atau bermain poker di
Al Qur’an dan Hadits, tapi itu tidak berarti bahwa memakai narkoba atau
bermain poker itu halal.
“Mereka
bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya
itu terdapat dosa besar dan beberapa manfa`at bagi manusia, tetapi dosa
keduanya lebih besar dari manfa`atnya”. Dan mereka bertanya kepadamu apa
yang mereka nafkahkan. Katakanlah: “Yang lebih dari keperluan.”
Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu
berfikir,” [Al Baqoroh:219]
Narkoba
digolongkan ulama sebagai khamar karena membuat mabuk dan pikiran tidak
berfungsi sementara poker digolongkan sebagai judi, karena pada saat
ada yang menang, ada pula yang kalah atau menderita. Dari ayat Al Qur’an
di atas juga jelas bahwa ada pertimbangan antara manfaat dengan
mudlorot atau kerusakan yang bisa ditimbulkan. Jika lebih banyak
mudlorotnya ketimbang manfaat, jangankan jual-beli saham, ibadah Haji
yang termasuk wajib pun jika keadaan sangat berbahaya dan bisa
menimbulkan kematian (misalnya perang besar di daerah itu), bisa gugur
hukumnya.
Kenapa
jual-beli barang biasa misalnya kebutuhan pokok seperti beras, ikan,
atau pakaian halal meski spekulasi bisa terjadi (walau sedikit dan ini
juga dilarang dalam Islam) halal, sementara jual-beli saham haram?
Karena manfaat yang pertama lebih besar ketimbang bahayanya. Tanpa
jual-beli seperti beras, kehidupan tidak akan berjalan. Rakyat tidak
bisa makan kecuali dia menanam atau membuat sendiri. Tapi tanpa
jual-beli saham, orang tetap bisa hidup tanpa ada gangguan sedikitpun.
Bahkan hal itu lebih bermanfaat, karena dia bisa mengerjakan sesuatu
yang real.
Charlie
Sheen yang berperan sebagai Bud Fox, pialang saham muda yang mengagumi
Gordon Gekko (master pemain saham yang licik), dinasehati ayahnya
(Martin Sheen) di dalam film Wall Street agar berusaha/bekerja dengan
tangannya untuk menghasilkan produk yang nyata, ketimbang bermain saham
yang tak menghasilkan apa-apa kecuali uang dari orang lain.
Dalam
satu hadits, Nabi juga berkata bahwa sesungguhnya Allah mencintai orang
yang bekerja dengan tangannya sendiri. Bukan orang yang cuma
duduk-duduk saja membeli saham sambil berharap suatu saat dapat capital
gain.
“Tiada makanan yang lebih baik daripada hasil usaha tangannya sendiri.” (HR. Bukhari)
“Tidaklah seorang di antara kamu makan suatu makanan lebih baik daripada memakan hasil keringatnya sendiri” (HR Baihaqi)
Bahkan
Rasulullah pernah mencium tangan Sa’ad bin Mu’adz ra tatkala beliau
melihat bekas kerja pada tangan Mu’adz. Seraya beliau bersabda: “(Ini
adalah) dua tangan yang dicintai Allah Ta’ala”
Jual-beli
saham pada pasar sekunder, jika trend grafiknya naik, mungkin semua
orang akan senang. Tapi jika grafiknya lurus horisontal, maka jika
fluktuatif, akan ada yang menang dan ada yang rugi. Persis seperti judi.
Jika ada yang menang, maka ada yang harus menderita. Tidak mungkin
semua mendapat kemenangan. Misalnya untuk untung, kita harus beli di
harga rendah dan menjualnya di harga tinggi, misalnya kita beli harga
saham di harga Rp 1000 dan menjualnya di harga Rp 2000. Agar bisa
terjadi seperi itu, tentu ada yang harus membeli di harga tinggi (Rp
2000) dan menjualnya di harga rendah (Rp 1000). Kita mungkin menang,
tapi yang lainnya rugi.
Pada
kondisi trend grafik menurun, lebih parah lagi. Ada yang rugi sedikit,
ada pula yang rugi besar hingga harus menjual rumah atau kehilangan
milyaran rupiah. Contoh terakhir adalah kasus bunuh dirinya seorang
pemain saham yang kalah, sehingga uang nasabahnya sebesar Rp 500 milyar
lenyap begitu saja. Saya juga mengamati, dari transaksi jual-beli saham
antara tahun 2002-2003, ada sekuritas yang transaksinya merugi hingga Rp
150 milyar, ada pula yang menang hingga Rp 300 milyar. Kemenangan satu
pemain saham umumnya berasal dari kerugian pemain lainnya.
“Sesungguhnya
syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di
antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi
kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari
mengerjakan pekerjaan itu).” [Al Maa-idah:91]
Islam mensyaratkan adanya saling kerelaan (senang) di antara pembeli dan penjual:
“Hai
orang-orang yang beriman! Jangan kamu makan harta kamu di antara kamu
dengan cara yang batil, kecuali dengan jalan perdagangan dengan adanya
saling kerelaan dari antara kamu.” (an-Nisa’: 29)
Kerelaan
di atas maksudnya baik pembeli dan penjual tidak kecewa atau dirugikan.
Pada transaksi riba, mungkin antara debitur dan kreditur
menanda-tangani peminjaman dengan sukarela, tapi pada dasarnya itu
haram, karena debitur dirugikan. Demikian pula dengan jual-beli saham
terutama ketika grafik rata atau menurun.
Dengan
jual-beli saham, berapa banyak pemain saham yang dianggap master dan
dikagumi juniornya akhir menderita kekalahan dan bahkan ada yang
akhirnya bunuh diri. Seorang pemain saham, bahkan bisa melotot memonitor
pergerakan harga saham sepanjang hari agar tidak kehilangan kesempatan
menarik keuntungan jika seandainya harga saham turun atau naik. Pernah
ada kejadian seorang nasabah yang ingin memukul broker-nya dengan palu
karena rugi. Saya ragu jika itu sesuai dengan syariah…
Ada
yang berpendapat, jika berusaha di sektor real juga kita bisa rugi. Itu
benar, tapi kenyataan menunjukkan bahwa hal itu adalah halal, dan
kenyataannya, lebih dari 70% para pengusaha itu berhasil. Jika
seandainya rugi, maka prosesnya tidak secepat pada saham. Seorang
pengusaha dengan modal 1 milyar, paling-paling dia bangkrut setelah 1-2
tahun beroperasi.Tapi dalam bermain saham, sama halnya dengan judi, uang
sebesar itu bisa lenyap dalam semalam atau sebulan saja. Misalnya dia
membeli saham A di harga 1 milyar, kemudian sebulan dia jual Rp 500
juta. Kemudian dia beli saham B, sebulan kemudian karena harganya turun
terpaksa dia jual Rp 100 juta. Kerugian terjadi begitu cepat, apalagi
jika saham yang dibeli nilainya jadi 0. Jika pada sektor real seorang
pengusaha yang jatuh akhirnya bisa belajar dan akhirnya sukses, pada
saham proses begitu cepat dan bisa menimbulkan kecanduan seperti judi.
“…supaya
harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di
antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan
apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” [Al Hasyr:7]
Jual-beli
saham itu haram karena melanggar perintah Allah pada surat Al Hasyr
ayat 7. Pada Mudlorobah dan Musyarokah, pengusaha yang memerlukan modal
bisa mendapat uang dari investor untuk menjalankan usahanya. Jika
jual-beli saham diadakan, maka modal yang diperlukan untuk usaha itu
akhirnya beredar antara investor satu dengan investor yang lain,
sehingga sektor real justru tidak bisa berkembang karena kekurangan
dana.
Contohnya,
di Bursa saham transaksi jual-beli saham mencapai antara Rp 200 milyar
hingga Rp 1 trilyun PER HARI. Uang tersebut tidak bermanfaat apa-apa
karena hanya beredar di antara orang-orang kaya (pemilik uang) saja.
Padahal jika uang itu diinvestasikan untuk membuka perusahaan baru,
paling tidak 200 perusahaan bisa berdiri. Misalkan kita mengimpor
kedelai sebesar Rp 3 trilyun per tahun dari AS, bisa jadi dengan uang di
atas, kita bisa menggerakan sektor pertanian, sehingga ratusan ribu
petani bisa bekerja dan memberi nafkah bagi jutaan anggota keluarganya,
rakyat bisa terpenuhi kebutuhan pangannya, dan negara bisa menghemat
devisa sebesar Rp 3 trilyun per tahunnya.
Tapi
jika kita menganggap jual-beli saham itu halal meski bertentangan
dengan ayat Al Hasyr ayat 7, maka uang sebesar Rp 200 milyar hingga Rp 1
trilyun itu tidak berarti apa-apa kecuali beredar di antara sesama
spekulator saham. Ekonomi bisa mandek…
Jual-beli
saham juga bertentangan dengan konsep Syarikat Islam. Dalam konsep
Syarikat Islam, orang-orang yang bekerjasama membentuk perusahaan, baik
pengusaha atau pun investor saling mengenal dan terikat kontrak yang
jelas. Konsepnya mungkin hampir mirip pada perusahaan join venture
modern.
“Dari
Saib Al Makhzumi ra: Dia adalah syarikat (partner bisnis) Rasulullah
SAW ketika belum menjadi Rasul. Setelah peristiwa Fathu Mekkah, Nabi
berkata: “Selamat datang saudaraku dan syarikatku” (HR Imam Ahmad, Abu
Daud, dan Ibnu Majah)
Begitulah
konsep persekutuan bisnis dalam Islam. Sesama partner saling mengenal.
Kalau dalam jual-beli saham, para partner bisnis mayoritas majhul atau
tidak dikenal. Saking liquid-nya, pemegang saham satu perusahaan bisa
berubah-rubah baik jumlah mau pun orangnya. Seorang Liem Sioe Liong atau
James Riady (pemilik perusahaan yang asli), boleh dikata tidak mengenal
para investor yang membeli saham-nya lewat Bursa Saham di pasar
sekunder. Mana yang lebih baik, sistem Islam atau sistem Kapitalis?
Ada
yang berpendapat bahwa semua itu tergantung niat. Jika niatnya membeli
saham untuk investasi, maka jual-beli saham di pasar sekunder halal.
Jika spekulasi, maka haram. Semudah itukah?
Jika
niatnya memang investasi, tentu dia akan menyerahkan modalnya langsung
kepada pengusaha yang memerlukan modal baik langsung atau di pasar
perdana (IPO). Tapi jika menyerahkan uangnya kepada pemilik saham yang
menjual sahamnya (spekulan) di pasar sekunder, itu sama saja dengan
spekulasi. Ini mengakibatkan uang hanya beredar di antara sesama pemilik
uang seperti yang disebut di atas.
Niat
seperti itu jika tidak dilakukan dengan cara yang benar, sama saja
dengan bersedekah pada orang berduit yang kemudian memakainya untuk
berjudi atau bermaksiat. Jika dia sudah mengetahui hal itu tapi tetap
melaksanakannya, sungguh dia telah tolong-menolong dalam kemaksiatan
seperti yang disebut dalam Al Qur’an.
Ada
juga pengamat yang berkata bahwa jual-beli saham untuk orang awam yang
tidak punya data itu haram, karena resikonya besar. Tapi bagi yang ahli
serta punya data, itu halal. Ini sama dengan mengatakan bahwa orang yang
tidak mabuk, halal meminum khamar, atau seorang penjudi yang jago halal
untuk berjudi. Islam tidak diskriminatif seperti itu…
Dari
Abu Hurairah ra bahwa Nabi SAW bersabda: “Akan datang suatu masa di
mana orang tak peduli akan apa yang diambilnya, apakah dari yang halal
atau dari yang haram” (HR Bukhari)
Mungkin
ada yang berpendapat bahwa jual-beli saham itu perlu agar investor yang
cuma punya saham bisa mendapatkan uang dengan menjualnya jika ada
keperluan yang mendesak.
Sesungguhnya
dari ayat dan hadits di atas jelas bahwa jual-beli saham banyak
mudlorotnya dan dilarang oleh agama. Jika investor itu memang butuh
uang, maka dia bisa menarik modalnya dari syarikatnya jika uangnya
memang ada. Tapi jika uangnya tidak ada, maka dia bisa berhutang, sebab
berhutang itu selama tidak ada ribanya dihalalkan oleh agama. Ada
baiknya Pasar Modal Syariah bekerjasama dengan Bank Syariah untuk
meminjamkan uang bagi investor yang kepepet. Dan ada baiknya para
investor untuk tidak menginvestasikan seluruh uang yang dimilikinya,
serta menabung sebagian uangnya di Bank Syariah, sehingga tidak sampai
melakukan jual-beli saham.
Jual-beli
saham terjadi selain karena emitennya performance-nya kurang baik,
mungkin juga disebabkan adanya kecurangan dari emiten sehingga para
investor tidak bisa mendapatkan keuntungan yang layak, kecuali dari
capital gain lewat jual-beli saham di pasar sekunder. Bayangkan, ada
satu perusahaan besar dengan banyak produk yang dipakai luas di
masyarakat, tapi hanya memberikan deviden sebesar 2,3% saja per tahun
dari nilai pasar yang ada jika kita membelinya. Itu berarti jika kita
membeli saham itu, maka pokok modal kita akan kembali setelah lebih dari
40 tahun! Padahal Direksinya bergaji puluhan juta rupiah per bulan,
demikian pula pemilik perusahaan tersebut.
Hal
itu persis ayat seperti ini, jika untuk kepentingannya sendiri, maka
emiten ingin mendapat keuntungan/gaji yang besar. Tapi jika untuk
investornya, dia beri hasil yang sedikit:
“Celakalah
orang-orang yang mengurangi, apabila mereka itu menakar kepunyaan orang
lain (membeli) mereka memenuhinya, tetapi jika mereka itu menakarkan
orang lain (menjual) atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.
Apakah mereka itu tidak yakin, bahwa kelak mereka akan dibangkitkan
dari kubur pada suatu hari yang sangat besar, yaitu suatu hari di mana
manusia akan berdiri menghadap kepada Tuhan seru sekalian alam?!”
(al-Muthafifin: 1-6)
Saya
punya teman yang bergerak di bidang Baitul Maal wa Tamwil, dengan
meminjamkan uang Rp 50 ribu, rata-rata dia bisa mendapatkan uang dari
bagi hasil (7 untuk pedagang dan 3 untuk BMT) sebesar Rp 30 ribu dalam
waktu hanya 20 hari. Itu berarti dalam waktu kurang dari 1 bulan, dia
mendapat keuntungan sebesar 60%. Dalam setahun jika kondisinya seperti
itu, paling tidak BMT-nya mendapat keuntungan 720%. Modalnya dalam
setahun kembali sebesar 7 kali lipat lebih.
Jadi
tanpa jual-beli saham, dengan berbagi keuntungan saja investor
seharusnya bisa hidup jika emiten (syarikat)nya jujur. Mungkin seorang
investor tidak akan mendapat keuntungan sebesar 720% seperti di atas,
tapi seharusnya 50% saja sudah bisa didapatkannya jika tidak terjadi
gharar. Sebab bisnis itu jika dijalankan dengan profesional,
keuntungannya bisa jauh di atas bunga bank yang ada (9%), bukan di
bawahnya.
Dalam Islam, bagi hasil dilakukan secara adil, sehingga baik pengusaha maupun investor bisa hidup dari keuntungan tersebut.
Imam
Malik berkata dalam kitab Al Muwaththo: Dari Al ‘Ala bin Abdul Rahman
bin Yaqub,dari bapaknya, dari kakeknya ra: “Bahwasanya ia menggunakan
harta Usman (untuk berbisnis) yang keuntungannya dibagi dua”
Jual-beli
saham di pasar sekunder terjadi karena emiten tidak bertanggung-jawab
untuk memberikan bagi hasil yang adil kepada investor atau mengembalikan
modal investor jika investor membutuhkannya. Tanggung-jawab itu
dilemparkan kepada investor lain yang ada di bursa saham. Bisa terjadi
ketika saham emiten (perusahaannya bangkrut) tersebut menjadi 0,
Direktur beserta komisaris atau pemilik perusahaan yang asli (yang ada
sebelum IPO) bisa tetap menikmati kekayaan berupa rumah dan mobil mewah
dari uang yang diperolehnya lewat perusahaan tersebut ketika masa jaya,
sementara investor non emiten menjadi bangkrut. Itulah sebabnya, ada
saham yang meski harganya tinggal 20 rupiah, para Direksi dan pemilik
perusahaan yang asli tetap saja bisa mempunyai rumah dan mobil mewah
yang dijaga oleh bodyguard mereka, sementara investor yang bertransaksi
jual-beli saham menderita.
Seandainya
memang semua investor sepakat untuk menjual perusahaan, maka yang
dijual bukanlah saham yang tidak nyata itu, tapi aset perusahaan
tersebut. Misalkan aset perusahaan itu adalah gedung, maka yang dijual
adalah gedungnya, uangnya dibagi kepada para syarikat yang ada. Itulah
cara Islam.
“Dari
Jabir ra katanya: Berkata Rasulullah SAW: Barang siapa yang berserikat
pada rumah atau kebun (milik bersama), tidaklah dia boleh menjualnya
sebelum memberitahukan kepada teman syarikatnya. Jika dia setuju,
dibelinya. Jika tidak, baru dijual kepada orang lain”
Dalam Islam, seorang investor bisa menetapkan syarat:
“Dari
Hakim putera Hizam ra, ia berkata: “Bahwasanya ia memberikan syarat
kepada seseorang yang ingin menyerahkan hartanya sebagai modal. Katanya:
Janganlah kamu jadikan hartaku padabinatang, jangan dibawa ke laut,
jangan pula menyeberang sungai. Jika kamu melanggarnya, kamu harus
mengganti hartaku ini” (HR Imam Daruquthni)
Pada
Bursa saham yang ada, seorang pemegang saham minoritas tidak bisa
melakukan hal itu. Ketika pemegang saham mayoritas merubah core
business-nya menjadi lain, misalnya dari Asuransi menjadi perusahaan
Dotcom dan nilai sahamnya menjadi hancur, pemegang saham minoritas tidak
dapat mengambil kembali uangnya.
Pada
jual-beli saham pada pasar sekunder satu saham bisa ditawar oleh banyak
orang baik beli atau jual pada harga yang berbeda, sehingga harganya
tidak menentu. Hal ini haram karena melanggar larangan Nabi:
“Dari
Abu Hurairah ra katanya, bahwa Rasulullah SAW bersabda: Janganlah
seorang Muslim mengajukan tawaran kepada barang yang sedang ditawar
orang lain” (HR Muslim)
Seorang
investor yang membeli saham kemudian akhirnya dijual lewat Bursa Saham
guna mendapatkan capital gain ketika harga naik meski mungkin menjualnya
dalam rentang waktu yang lama, tak ubahnya seperti seorang
penimbun/spekulator:
“Dari
Ma’mar bin Abdullah ra, Rasulullah bersabda: “Tidak ada yang menimbun
(agar harga naik), kecuali orang yang berdosa” (HR Muslim)
Kalau pada perdagangan tradisional
setiap rantai berusaha mendekatkan barang ke para pemakai dengan
secepat-cepatnya dengan skema:
Produsen->Distributor->Retailer/Pedagang eceran->Konsumen/Rakyat
Maka pada perdagangan saham, 90% lebih
justru berputar-putar antara pemain saham. Mereka cenderung menimbun
agar harga saham jadi naik:
Rasulullah saw. bersabda, “Siapa yang
merusak harga pasar, sehingga harga tersebut melonjak tajam, maka Allah
akan menempatkannya di dalam neraka pada hari kiamat.” (HR. At-Tabrani
dai ma’qil bin Yasar).
Rasulullah saw. berkata, “Siapa yang
melakukan penimbunan barang dengan tujuan merusak harga pasar, sehingga
harga naik secara tajam, maka ia telah berbuat salah.” (HR. Ibnu Majah
dari Abu Hurairah).
Rasulullah saw. bersabda, “Para pedagang
yang menimbun barang makanan (kebutuhan pokok manusia) selama 40 hari,
maka ia terlepas dari (hubungan dengan) Allah, dan Allah pun melepaskan
(hubungan dengan)-nya.” (HR. Ibnu Umar).
Sesuatu itu haram jika mudlorotnya lebih besar dari manfaatnya. Jual-beli sesuatu yang haram adalah haram juga.
Rasulullah s.a.w. bersabda sebagai berikut:
“Sesungguhnya
Allah dan RasulNya telah mengharamkan memperdagangkan arak, bangkai,
babi dan patung.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
“Sesungguhnya Allah apabila mengharamkan sesuatu, maka Ia haramkan juga harganya.” (Riwayat Ahmad dan Abu Daud)
Mungkin
dengan dihilangkannya Jual-beli saham pada pasar sekunder, orang-orang
yang ingin mendirikan Pasar Modal Syariah akan kecewa, karena PMS tidak
akan mendapatkan fee jual-beli saham yang nilainya lumayan (bisa
mencapai 300 juta per hari). Bagaimana PMS bisa hidup setelah IPO?
Saya
menyarankan (entah ini benar atau salah), sebaiknya untuk setiap
perusahaan yang IPO, PMS mendapat bagi hasil sebesar 5% sebagai salah
satu syarikat. PMS berperanan untuk menyeleksi emiten yang akan IPO
apakah layak atau tidak, serta terus mengawasi emiten tersebut (mungkin
sebagai komisaris) apakah berjalan dengan benar atau tidak, sehingga
tidak merugikan investor.
Jika
PMS berfokus pada penanaman modal untuk perusahaan-perusahaan baru di
pasar perdana, maka banyak perusahaan akan berdiri, lapangan kerja
terbuka luas, produksi bertambah banyak sehingga bisa memenuhi kebutuhan
nasional (Indonesia bisa jadi mandiri), keuntungan terus bertambah,
pada akhirnya ini akan menguntungkan PMS sendiri walau PMS mungkin
didirikan atas niat lillahi ta’ala.
Sesungguhnya,
pendirian Pasar Modal Syariah tentu didasarkan pada pertimbangan bahwa
Pasar Modal Konvensional tidak atau kurang memenuhi syariah. Jika PMS
ternyata sama dengan Pasar Modal Konvensional atau Pasar Modal
Konvensional itu halal, untuk apa kita mendirikan PMS?
Tidak
semua yang datang dari Barat itu jelek, dan tidak semua yang datang
dari Barat itu baik. Oleh karena itu, tidak sepatut-nya ummat Islam
langsung mengadopsi segala hal dari Barat, kemudian dengan sedikit
permak langsung dilabeli dengan kata “Syariah” sehingga jadi jual-beli
saham syariah. Janganlah kita membebek Barat secara membabi-buta,
sehingga yang buruknya pun kita ikuti sebagaimana yang diperingatkan
oleh Nabi SAW:
“Sungguh
kalian akan mengikuti sunnah (cara/metode) orang-orang yang sebelum
kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sampai
sekalipun mereka memasuki lubang biawak, kalian tetap mengikutinya.”
Kami bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah mereka itu orang Yahudi dan
Nasrani?” Beliau menjawab: “Siapa lagi (kalau bukan mereka)?” (HR
Bukhari dan Muslim)
Islam
punya konsep sendiri. Hal dari Barat bisa diterima jika memang tidak
bertentangan dan sesuai dengan sumber ajaran Islam, yaitu Al Qur’an dan
Hadits.
Demikian
sekedar ulasan saya tentang jual-beli saham di pasar sekunder. Pendapat
saya bisa benar atau salah, tapi insya Allah Al Qur’an tidak mungkin
salah serta Rasul Allah tentu lebih benar ketimbang kita semua. Ada yang
berpendapat jual-beli saham itu halal (mohon diberikan dalil Al Qur’an
dan Hadits-nya), ada yang bilang syubhat, ada pula yang tegas menyatakan
haram.
Dari
Nu’man bin Basyir ra diberitakan bahwa Nabi bersabda: “Sebenarnya yang
halal itu jelas dan yang haram jelas pula. Di antara yang halal dan
haram itu ada yang syubhat (tidak jelas), banyak orang tak
mengetahuinya. Siapa yang menghindar dari syubhat, dia telah memelihara
agama dan kehormatannya. Siapa yang terkena syubhat, maka dia terkena
yang haram…” (HR Muslim)
Dari
hadits di atas serta kesimpang-siuran status jual-beli saham di pasar
sekunder, jelaslah bahwa jual-beli saham itu jika tidak haram, dia
adalah syubhat, karena itulah orang berbeda pendapat. Meninggalkan hal
syubhat itu lebih utama ketimbang mengerjakannya, apalagi jika bahayanya
lebih besar dari manfaatnya.
Kesimpulan
1.Jika
penjualan saham dilakukan oleh pengusaha/emiten kepada masyarakat tanpa
ada tipuan/manipulasi yang merugikan pihak lain pada saat IPO
(penjualan saham perdana) maka halal.
2.Jika
jual-beli saham dilakukan sesama investor/spekulan saham dengan harapan
mendapat keuntungan dengan menjual saham tersebut ketika harganya naik,
maka ini spekulasi. Tak jauh beda dengan judi yang jelas diharamkan.
Referensi:
Al Qur’an
Shahih Bukhari
Shahih Muslim
Diskusi di milis ekonomi-syariah
Berikut
beberapa penipuan di Bursa Saham. Skandal Kebangkrutan Enron
perusahaan dengan revenue US$ 101 milyar (Rp 900 trilyun) membuat
Perusahaan Akuntan Publik Arthur Andersen tutup karena membuat laporan
keuangan palsu seolah-olah ENRON untung. Pemegang sahamnya rugi sampai
US$ 74 milyar atau Rp 630 trilyun!Sementara mantan pimpinan Bursa Saham NASDAQ, Bernard Madoff, menipu nasabahnya hingga US$ 50 milyar dengan cara membayar nasabah lama dengan uang nasabah baru. Gali lobang tutup Lobang.
Lehman Brothers bahkan bangkrut dengan meninggalkan hutang US$ 613 milyar atau sekitar Rp 5.400 trilyun lebih! 5 kali lipat dari APBN Indonesia!
Di Indonesia pun ada kasus Sarijaya Sekuritas yang pemilik dan Direkturnya dituduh menggelapkan uang nasabah hingga Rp 245 milyar.
Itulah akibat spekulasi di dunia saham dan sektor keuangan.
Silahkan lihat berbagai artikel tentang penipuan di Bursa Saham dari berbagai media:
http://infoindonesia.wordpress.com/2010/09/23/skandal-penipuan-di-bursa-saham-enron-sarijaya-rina-dsb/
http://alhikmah.ac.id/2011/tidak-boleh-menimbun-barang/
No comments:
Post a Comment
Harap jelaskan identitas dan bicara dengan niat baik dan berdasar. Please verify your id and speak on good ground.